Kepedulian terhadap pemakaian obat-obatan dalam kelompok antimikroba, yaitu antibiotik, antiparasit, antivirus dan antijamur penting diterapkan karena berbagai alasan. Menurut Direktur Tata Kelola Obat Publik dan Perbekes, Kementerian Kesehatan, dr Wiendra Waroruntu, dampak kesalahan penggunaan obat ini cukup besar.
“Manfaat antimikroba dalam pengobatan menjadi berkurang, dan infeksi menjadi semakin sukar disembuhkan. Hal ini menyebabkan meningkatnya angka kesakitan dan angka kematian, serta beban ekonomi,” kata Wiendra, dalam diskusi memperingati pekan peduli antimikroba sedunia, yang diselenggarakan Keluarga Alumni UGM Yogyakarta, (KAGAMA), Minggu (21/11).
Pemakaian Tidak Tepat
Antimikroba, kata Wiendra, adalah obat yang membunuh atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Kesalahan penggunaan atau kelebihan dosis bisa mengakibatkan resistensi antimikroba, atau kondisi dimana obat itu tidak lagi mampu melawan penyakit.
Salah pakai dan salah dosis sebagai penyebab utama resistensi obat ini, terjadi pada manusia maupun hewan. Secara umum, di negara berkembang resistensi obat dipicu oleh kualitas antiobiotik yang buruk, penyalahgunaan antibiotik, dan kemudahan memperoleh antibiotik. Sedangkan di negara maju, faktor pendukungnya adalah regulasi rumah sakit yang buruk, dan penggunaan antibiotik yang berlebihan pada hewan penghasil makanan. Negara-negara maju juga kurang dalam penelitian tentang antibiotik baru.
“Penggunaan dan penanganan antimikroba yang tidak tepat pada manusia, antara lain berbentuk peresepan yang berlebihan, peresepan antibiotik untuk penyakit nonbakterial, dan pasien yang tidak menyelesaikan program terapi,” lanjut Wiendra.
Sedangkan pada hewan, baik di peternakan maupun perikanan, kesalahan terjadi karena antibiotik dipakai secara rutin. Fungsinya bukan untuk terapi, tetapi membuat kondisi hewan lebih sehat. Selain itu, di sektor ini, antibiotik juga dipakai sebagai pendorong pertumbuhan hewan.
Selain itu, terjadi juga pembuangan antimikroba ke lingkungan karena manajemen pembuangan limbah industri yang keliru. Sering juga terjadi pembuangan obat-obatan yang tidak tepat. Namun, sebaran antimikroba ke lingkungan juga bisa disebabkan ekskresi manusia dan binatang.
Persoalan juga terjadi karena kepatuhan pasien rendah dan pemberian antibiotik secara bebas tanpa resep dokter, yang membuat efek pengibatan tidak optimal.
“Pemberian antibiotik bebas tanpa resep. Di apotek kadang-kadang berpikir, sudahlah saya beli obat tanpa resep juga dikasih. Ini yang tidak patuh,” tambahnya.
Dalam kasus semacam ini, kelalaian ada pada pihak pengelola apotek. Selain itu, di lingkungan tenaga kesehatan, faktor yang memperburuk keadaan juga ada. Misalnya kurangya informasi dari tenaga kesehatan, pemberian dosis yang berlebihan, durasi tidak tepat, munculnya efek samping, serta interaksi obat yang justru menghadirkan masalah kesehatan baru.
Apotek Berperan Besar
Peran apotek dalam penyalahgunaan antibiotik juga terbukti melalui penelitian program PINTAR (Protecting Indonesia from the Threat of Antibiotic Resistance). Prof.dr.Tri Wibawa, Ph.D., Sp.MK(K), Guru Besar Mikrobiologi Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan, UGM mengutip beberapa hasil kesimpulan dari penelitian itu, dalam diskusi tersebut.
“Hampir 69 persen interaksi antara klien atau pasien dengan petugas di apotek dan toko obat, itu berakhir dengan pemberian antibiotik tanpa resep,” ujar Tri Wibawa.
Dari jumlah itu, Tri Wibawa merinci ada 17 persen pasien yang datang kemudian menyampaikan gejala dan keluhan kepada petugas di apotek atau toko obat. Pasien itu kemudian diberikan antibiotik. Sedangkan lebih dari 51 persen pasien, datang ke apotek atau toko obat, dan langsung menyatakan akan membeli antibiotik. Petugas kemudian memberikan begitu saja antibiotik itu meski tidak ada resep dari dokter.
“Hanya 30,9 persen interaksi pasien dan petugas tidak diakhiri dengan pemberian antibiotik. meskipun diminta oleh pasien, yang datang ke apotek atau toko obat,” lanjutnya.
Data itu diperoleh dari 495 interaksi kunjungan klien atau pasien, sebanyak 362 interaksi terjadi di apotek, dan 133 terjadi di toko obat. Dua wilayah dipilih sebagai penelitian pada 2019 itu, yaitu Bekasi yang mewakili kawasan perkotaan dan Tabalong di Kalimantan Selatan yang mewakili wilayah pedalaman. Wawancara mendalam juga dilakukan, baik terhadap petugas apotek maupun terhadap toko obat yang terpilih, di kedua wilayah itu.
Penelitian PINTAR juga mencatat, sebanyak 43,3 persen pasien atau pembeli obat antibiotik tidak menerima edukasi atau pemberian petunjuk mengenai bagaimana mengonsumsinya. Sementara sisanya menerima informasi yang diberikan petuga penjual obat seperti tentang dosis, lama pemakaian, petunjuk pemakaian, alergi obat dan efek samping.
Ada sejumlah faktor yang membuat antibiotik dijual tanpa resep. Tri Wibawa menyebut, salah satunya adalah anggapan kuat bahwa antibiotik adalah obat yang sangat manjur.
“Dianggap bisa menyembuhkan apa saja, bahkan pegel linu pun disembuhkan dengan antibiotik,” kata dia.
Survei juga menemukan, sejumlah petugas tidak kompeten bekerja di apotek dan toko obat. Faktor lain adalah keyakinan bahwa menolak memberikan antibiotik diangap tidak baik bagi bisnis obat. PINTAR juga menemukan ketidakseimbangan kekuasaan, antara pemilik apotek dengan apoteker.
“Kadang-kadang apoteker terbentur kenyataan, bahwa mereka tidak memiliki kekuatan cukup ketika melawan kebijakan dari pemilik apotek maupun toko obat,” ujarnya Tri Wibawa yang juga mengatakan penegakan aturan yang lemah sebagai faktor terakhir.
Pemakaian Pada Hewan
Ketua Departemen Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan UGM, Yogyakarta, Dr. drh. Agustina Dwi Wijayanti, MP menyebut resistensi antibiotik juga disumbang pemakaiannya pada hewan. Saat ini, tidak cukup tersedia obat jenis ini bagi hewan, baik peliharaan maupun produksi. Karena itu, peternak atau pemilik hewan peliharaan, sering memberikan antibiotik manusia, kepada hewan mereka.
"Ada penggunaan ekstra label. Ini sering dipraktikkan pada pengobatan hewan. Pengunaan obat diluar label, obat manusia dipakai pada hewan. Karena memang bisa didapatkan,” kata Agustina.
Antibiotik untuk manusia mudah diperoleh di apotek atau toko obat, seperti dipaparkan di depan. Di sisi lain, antibiotik untuk hewan jumlahnya terbatas, baik produksi maupun merknya. Karena itulah, hewan banyak diobati dengan antibiotik manusia.
Kecenderungan lain juga terjadi, dengan pemakaian yang tidak sesuai peruntukannya meski pilihannya benar. Misalnya, antibiotik untuk hewan peliharaan, seperti anjing atau kucing, justru diberikan kepada hewan ternak seperti sapi.
“Terbolak-balik karena belum tersedia formulasi obat hewan tertentu. Padahal secara farmakokinetik, ada perbedaan, antara penggunaan pada sapi sebagai ruminansia dan anjing sebagai karnivora,” tegas Agustina.
Kasus semacam ini, lanjut dia, menyumbang merebaknya resistensi terhadap obat antimikroba, khususnya antibiotik. Kondisi semakin memprihatinkan, karena penggunaan antibiotik sebagai imbuhan pakan. Kebiasaan ini, menyebarkan efek antibiotik melalui kotoran ternak, yang dipakai untuk pupuk dan tanaman pangan dikonsumsi manusia.
“Urin dan kotoran bisa mengontaminasi pekerja, itu sangat mungkin sehingga terjadi penyebaran mikroba yang sudah resisten ke manusia,” imbuhnya.
Butuh Peran Seluruh Pihak
Seluruh pihak harus berperan menekan fenomena buruk ini, seperti dipaparkan pakar penyakit tropis dan infeksi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, FKKMK UGM dr Rizka Humardewayanti Asdie Sp.PD.
Penulis resep atau dokter, harus menegakkan diagnosis infeksi secara akurat. “Tidak semua demam itu infeksi, dan tidak semua infeksi memerlukan antimikroba,” kata Rizka.
Dokter juga harus mengikuti petunjuk antimikroba lokal, serta meninjau secara reguler kebutuhan antimikroba.
Sementara perawat, berperan mengambil spesimen untuk pemeriksaan mikrobiologi secara benar. Dia juga harus memastikan obat antimikroba bagi pasien rawat inap di rumah sakit dikonsumsi dengan benar. Ketika pulang dari rumah sakit, perawat juga harus memastikan pasien memahami penggunaan antimikroba dengan benar.
Pasien juga harus berdaya. “Tanyakan ke dokter, apakah memang perlu antimikroba, jika dokter meresepkan. Apakah tidak perlu pemeriksaan laboratorium terlebih dahulu,” papar Rizka memberi saran.
Jika memang harus mengonsumsi, Rizka meminta pasien meminum obat sesuai rekomendasi yang diresepkan. Selain itu, pasien juga tidak boleh menyimpan atau menggunakan sisa obat antimikroba. Sedangkan apoteker sebaiknya jangan memperjualbelikan obat antimikroba tanpa resep dokter. Mereka juga harus memberikan edukasi ke pasien tentang bagaimana penggunaanya, efek samping, interaksi obat dan alergi.
Rizka mengatakan, perlunya membuat dan mensosialisasikan panduan penggunaan antimikroba. Edukasi, audit dan umpan balik juga perlu dilakukan kepada para dokter selaku penulis resep, katanya Pengelola rumah sakit harus membentuk dan menyediakan dana bagi tim penatagunaan antimikroba (PGA). Rumah sakit juga harus memonitor penggunaan dan resistensi antimikroba dan memastikan obat apa saja yang dibatasi penggunaannya.
Peternak dihimbau tidak menggunakan antimikroba untuk menaikkan berat badan ternak. “Perusahaan farmasi juga harus berperan dengan membatasi penawaran antimikroba, terutama yang spektrum luas, tetapi memastikan suplainya secara terus menerus,” tambah Rizka. [ns/ab]