Hidup tidak pernah mudah bagi Serafina Bete, penyandang disabilitas yang juga Ketua Perkumpulan Tuna Daksa Kristiani, Nusa Tenggara Timur. Tumbuh dalam masyarakat yang belum memahami persamaan hak bagi penyandang disabilitas, Serafina harus menghadapi kenyataan pahit.
Di lingkungannya, penyandang disabilitas kadang dianggap sebagai aib keluarga. Mereka disembunyikan dari masyarakat, bahkan keberadaannya kadang tidak tercatat dalam data kependudukan. Tidak banyak yang bisa bersekolah, apalagi bekerja.
Serafina termasuk beruntung bisa bersekolah, meski dengan berat hati karena harus menempuh pendidikan di Sekolah Luar Biasa. Padahal sebagai tunadaksa, kemampuan fisiknya hanya berbeda sedikit dengan siswa di sekolah umum.
Karena itulah, Serafina bersyukur Indonesia telah memiliki undang-undang khusus sebagai landasan memperjuangkan hak mereka. Hanya beberapa minggu setelah undang-undang disahkan, NTT telah meresmikan program sekolah inklusif.
Seluruh anak penyandang disabilitas kini bisa menimba ilmu di sekolah umum, sejak jenjang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) hingga perguruan tinggi. Serafina juga terlibat aktif dalam penyusunan berbagai peraturan daerah, sebagai penerapan undang-undang di tingkat lokal.
“Ini adalah langkah awal bagi penyandang disabilitas untuk memulai perjuangan yang baru untuk bisa hidup dengan lebih baik. Kami merasa bahwa sudah ada perlindungan hukum yang kuat bagi kami. Berdasarkan undang-undang ini, semua sudah memberikan respons. Hanya masih ada kendala, di bidang pendidikan misalnya, guru-gurunya belum siap karena kurikulumnya juga harus disesuaikan dengan kemampuan murid yang disabilitas. Tetapi secara umum, mereka semua memberikan respons yang positif,” kata Serafina.
Sementara itu, sekitar 40 aktivis organisasi penyandang disabilitas dari berbagai provinsi di Indonesia, berkumpul di Yogyakarta pada 2-3 Juni lalu dalam Lokakarya Advokasi Implementasi UU Penyandang Disabilitas. Menurut aktivis pembela hak kelompok ini, Nurul Saadah Andriani, pertemuan tersebut khusus diselenggarakan untuk memetakan, apa dampak positif dan apa yang kurang dari UU No 8 2016, serta apa yang harus dilakukan untuk menjamin pelaksanaan UU itu di lapangan.
“Kalau kita lihat memang ada hal-hal yang perlu dikritisi dan sejumlah kelemahan dari undang-undang itu. Tapi kita juga mencari titik kuatnya di mana dan potensinya apa saja untuk segera bisa mengimplementasikan undang-undang itu," kata Nurul Saadah Andriyani.
Koordinator Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel (SIGAB) Yogyakarta, Muhammad Joni Yulianto kepada VOA mengatakan, salah satu kelemahan penanganan kelompok disabilitas adalah persoalan data.
Indonesia belum pernah memiliki data yang benar mengenai seberapa besar penyandang disabilitas, pada jenis apa disabilitasnya, dan persebarannya per wilayah. Karena ketiadaan data utama itu, pemerintah Indonesia tidak pernah mampu menerapkan kebijakan yang tepat.
Joni mencontohkan, untuk urusan Pemilu saja penyandang disabilitas terabaikan, karena KPU tidak pernah tahu, di tempat pemungutan suara mana, fasilitas penunjang penyandang disabilitas harus disediakan. Dalam sensus kependudukan, kata Joni, petugas sensus cenderung mengabaikan kelompok ini karena tidak memahami cara berkomunikasi, misalnya kepada tunarungu atau tunawicara.
“Masing-masing ini punya standar pendataan yang berbeda. Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan, Kemenetrian Pendidikan, sehingga data penyandang disabilitas yang mereka punya berbeda-beda. Yang kita butuhkan kan sebenarnya data penyandang disabilitas yang terintegrasi dengan data kependudukan. Jadi kita bisa melihat, dari total penduduk, berapa sih total difabelnya. Baru kemudian masing-masing sektor bisa mengambil data sesuai dengan kepentingan analisa masing-masing,” kata Muhammad Joni Yulianto.
Joni menambahkan, UU No 8 tahun 2016 ini setidaknya akan mengikat bagi 33 kementerian dan lembaga pusat. Perjuangan persamaan hak penyandang disabilitas di sektor kehidupan sosial, pendidikan, ketenagakerjaan, tuntutan penyediaan fasilitas umum yang mendukung, atau hak-hak politik kini memiliki dasar yang kuat. Banyak yang masih harus dibenahi, kata Joni, tetapi sudah ada cukup langkah maju dalam penanganan kelompok ini di Indonesia.
Ariani Soekanwo, dari Konsorsium Nasional Pemantau Hak Disabilitas menuturkan kepada VOA, UU No 8 2016 juga mewajibkan pemerintah untuk membentuk Komisi Nasional khusus bagi penyandang disabilitas. Posisi komisi ini satu tingkat dengan Komnas Ham atau Komnas Perlindungan Anak. Tugas utamanya antara lain adalah mengawasi pelaksanaan undang-undang ini oleh pemerintah, guna menjamin hak-hak kelompok ini.
Sebagai Koordinator Kelompok Kerja RUU Penyandang Disabilitas, Ariani terlibat aktif dalam penyusunan UU ini. Dia menekankan, dalam banyak kasus, hak-hak penyandang disabilitas baru terpenuhi jika kelompok ini aktif melakukan advokasi. Karena itulah, tantangannya bukan pada penyusunan rancangan undang-undang ini selama tiga tahun terakhir, tetapi justru kepastian bahwa pemerintah dan masyarakat akan menaatinya pada masa datang.
“Jadi, selama ini kita sudah mengadvokasi hak-hak penyandang disabilitas. Tetapi melalui organisasi penyandang disabilitas yang tidak diberi dana sama sekali dan bantuan operasional dari pemerintah itu tidak ada. Jadi karena itu, geraknya menjadi lamban. Tetapi nanti kalau sudah ada Komisi Nasional Penyandang Disabilitas, ada anggaran dari negara, saya kira geraknya bisa lebih cepat,” jelas Ariani Soekanwo.
Ariani mengatakan, salah satu kelemahan yang harus dibenahi dalam undang-undang ini adalah pihak penerima mandatnya. Dalam undang-undang dijelaskan, Departemen Sosial akan menjadi sektor utama. Padahal departemen ini hanya memiliki birokasi hingga tingkat kabupaten.
Semestinya, undang-undang ini lebih diarahkan pada Kementerian Dalam Negeri, yang memiliki jangkauan aparatur pelayanan hingga ke desa-desa. [ns/uh]