Orangutan yang langka merupakan binatang soliter dan jarang terlihat dalam kelompok. Tapi mereka banyak terlihat di Kamp Leakey di Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah, tempat sekitar 6.000 orangutan yang diselamatkan berada.
Taman itu telah melindungi orangutan selama 38 tahun, tapi keberhasilannya sekarang ini bermasalah karena tempat itu tidak memiliki ruang dan sumber daya yang cukup untuk menampung lebih banyak satwa lagi.
Namun Dr. Birute Galdikas, 69, yang mengepalai Yayasan Internasional Orangutan (OFI), merawat sekitar 300 orangutan yang diselamatkan lagi sambil menunggu dibebaskan ke alam liar.
OFI sangat ingin membeli lahan seluas 6.367 hektar di seberang Taman, yang termasuk lahan vital di sepanjang Sungai Sekonyer, untuk mengakomodasi lebih banyak orangutan. Harga lahan tersebut adalah Rp 33,7 miliar.
Namun OFI, yang bergantung pada donasi dan uang dari ekoturisme, hanya mampu mengumpulkan sepertiganya.
"Kita harus melindungi lahan ini," ujar Galdikas pada kantor berita Reuters. "Jika kita kehilangan tepi sungai ini, ke mana para bekantan akan pergi? Ke mana semua orangutan akan pergi?"
Melindungi habitat hutan orangutan telah menjadi sama pentingnya dengan penyelamatan mereka jika spesies itu harus bertahan, ujar Galdikas, yang datang ke hutan Tanjung ketika ia berusia 25 tahun. Perempuan itu telah menghabiskan 44 tahun menjelajahi hutan dan mengarungi rawa untuk melindungi orangutan.
Kelapa Sawit
Permintaan global akan minyak kelapa sawit, bahan pembuat margarin sampai lipstik dan sampo, dan juga digunakan dalam biofuel, telah membantu mendorong penebangan hutan.
Perkebunan kelapa sawit sekarang mengelilingi Hutan Nasional Tanjung Puting, memotong koridor-koridor yang digunakan orangutan dan satwa liar lainnya untuk menyeberang dari satu hutan ke hutan lainnya.
Indonesia, negara kelima dengan kehilangan tutup hutan terbesar setiap tahun, memberlakukan moratorium tahun 2011 atas penebangan hutan alami primer dan lahan gambut.
Presiden Joko Widodo bulan April memperpanjang moratorium tersebut selama dua tahun dan memperluasnya untuk mencakup sejuta hektar lahan. Pemerintah juga meningkatkan penalti untuk penebangan liar.
Namun moratorium tersebut hanya berlaku untuk wilayah hutan baru. Hutan-hutan yang sudah ada dalam konsesi komersial tidak dilindungi dan akibatnya, perkebunan kelapa sawit pun meluas.
Produksi kelapa sawit di Indonesia meningkat dari 10,5 juta hektar tahun 2013 menjadi sekitar 11,44 juta hektar tahun 2015, menurut Kementerian Pertanian.
Togar Sitanggang, Sekretaris Jenderal Asosiasi Minyak Kelapa Sawit Indonesia, mengatakan ekspansi tahun ini adalah sekitar 300.000 hektar, dan itu terbatas pada daerah-daerah yang sudah mendapatkan izin beberapa tahun yang lalu. Ia mengatakan janji akan pembangunan berkelanjutan, undang-undang kehutanan yang baru serta pasar yang melunak telah memperlambat ekspansi.
Pemerintah Indonesia mengatakan minyak kelapa sawit penting untuk pembangunan karena mengurangi kemiskinan dengan membangun jalan, sekolah dan infrastruktur lainnya untuk masyarakat pedesaan dan menghasilkan lima juta pekerjaan yang bermanfaat bagi 15 juta orang.
Dan kebijakan biofuel pemerintah, yang bertujuan mengurangi impor bahan bakar fosil dan menghemat US$1,3 miliar (Rp 17,5 triliun), mendorong pemilik lahan kecil untuk memproduksi minyak kelapa sawit. Dengan kebijakan tersebut, setiap liter solar harus mengandung 15 persen biofuel.
"Masalahnya adalah mengizinkan pemilik lahan di Indoensia ambil bagian di hutan untuk perkebunan kelapa sawit -- apa yang baik untuk ekonomi tidak selalu baik untuk hutan," ujar Galdikas.