Belum adanya tanda-tanda bahwa perang antara Rusia dan Ukraina akan berakhir dalam waktu dekat membuat sejumlah pakar merasa bahwa kondisi tersebut dapat menjadi momentum bagi Indonesia untuk mengurangi ketergantungannya pada impor di sektor pangan.
Sebagai contoh, saat ini kebutuhan gandum di dalam negeri masih bergantung pada impor yang mencapai 11 juta ton per tahun.
Perang yang terus berkecamuk telah menimbulkan kekhawatiran global terhadap keberlangsungan sektor pangan di mana banyak negara, termasuk Indonesia, bergantung pada ekspor biji-bijian dari negara di wilayah timur Eropa tersebut.
Kepala Organisasi Riset Pertanian dan Pangan dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Puji Lestari Ph.D, mengatakan bahwa memburuknya situasi pangan akibat perang yang terjadi saat ini seharusnya menjadi peluang untuk menggenjot riset pangan lebih intensif.
“Adanya perang ini juga berdampak, beberapa negara mulai mengamankan pangan mereka. Ini peluang, bagaimana kita mengantisipasi ke depan, peluang untuk Indonesia menjadi mandiri atau melakukan riset inovasi untuk kedaulatan pangan kita,” kata Puji, dalam diskusi daring Riset dan Inovasi untuk Kedauatan Pangan dan Energi, yang diselenggarakan BRIN, pada Selasa (9/8).
Posisi Indonesia sebagai negara tropis, memang tidak mendukung budidaya gandum, produk pangan utama yang dihasilkan oleh Ukraina. Puji berpendapat bahwa perlu adanya solusi untuk menemukan bahan pengganti gandum atau memulai untuk memperdalam riset mengenai tanaman gandum mengingat tingginya kebutuhan akan produk jenis pangan tersebut di dalam negeri.
“Apapun produk berbasis terigu itu dari gandum yang kita impor. Untuk itu, bagaimana kita bisa mensubstitusi gandum itu dengan yang lain, atau paling tidak, kita bisa mengembangkan gandum tropis yang adaptif di Indonesia,” lanjut Puji.
Tantangan lain yang harus dijawab untuk sektor pertanian pangan, menurut Puji antara lain adalah pertanian berkelanjutan, dengan upaya peningkatan produksi melalui luasan lahan yang tersedia. Riset pertanian juga harus menjawab tantangan terkait air, kesuburan tanah dan sistem pertanian yang tangguh terhadap perubahan iklim.
“Kita harus mengembangkan infrastruktur dan rantai pasok yang cerdas dengan adanya krisis suplai pangan. Harus mulai kita perpendek pasokannya,” tambahnya.
Sorgum Pengganti Gandum
Pemerintah pada akhir pekan lalu memunculkan wacana untuk mengganti ketergantungan gandum dengan sorgum. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengatakan pemerintah memilih sorgum sebagai komoditas utama untuk menjawab kelangkaan gandum di pasar internasional.
Sorgum, adalah tanaman yang telah cukup lama dibudidayakan terutama di kawasan Nusa Tenggara. Kelompok petani-peternak di bawah bimbingan Yayasan Hisdi, di Nusa Tenggara Barat (NTB), merupakan bagian dari kelompok yang membudidayakan sorgum. Irwan, direktur Yayasan Hisdi, mengakui saat ini adalah momentum sangat baik bagi petani sorgum untuk meningkatkan produktivitasnya.
“Hari ini angin segar buat kita semua. Ada peluang dan potensi yang bisa menjadi jalan keluar dari persoalan sorgum tadi. Suplai pangan dunia terganggu hari ini, dengan adanya perang Rusia dan Ukraina,” kata Irwan dalam diskusi yang diselenggarakan Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Kementerian Pertanian, pada akhir pekan lalu.
“Pemerintah juga sudah mulai memasukkan sorgum dalam roadmap ketahanan pangan nasional, yang saya tangkap sudah ada padi, jagung, kedelai, sorgum dan singkong. Mudah-mudahan itu akan ditindaklanjuti dengan dukungan yang lain,” tambah Irwan.
Sorgum juga kian menjanjikan, karena kesadaran masyarakat dalam mengonsumsi bahan pangan sehat sudah mulai tumbuh. Di samping itu, pemerintah daerah seperti di NTB memberi dukungan melalui bantuan dana yang didapat dari APBD untuk membantu proses penanaman sorgum di lahan seluas 457 hektare, di mana kini telah masuk masa panen.
Namun, Irwan juga mencatat bahwa penanaman sorgum di Tanah Air masih memendam sejumlah persoalan. Beberapa di antaranya adalah belum merata dan masifnya benih bersertifikat, belum adanya alat pertanian seperti alat panen untuk membantu petani, dan belum terdapat standar harga yang jelas. Kendala lain yang muncul adalah ketiadaan industri besar yang menampung panen sorgum, dan belum terdapat kebijakan khusus pemerintah tentang pengembangan dan pemanfaatan sorgum baik untuk konsumsi dalam negeri, ekspor maupun impor.
Kepala Balai Penelitian Tanaman Serealia, Dr. Amin Nur, SP, menjelaskan bahwa sorgum, yang merupakan tanaman asli Afrika, mulai masuk ke Indonesia pada abad ke-4, tetapi tidak cukup berkembang sehingga saat ini Indonesia tidak tercantum pada daftar negara produsen sorgum dunia.
Sorgum memiliki potensi untuk dikembangkan di Indonesia, karena tanaman tersebut mudah dikembangkan sejak pembenihan hingga penanaman. Tanaman ini juga dinilai mudah beradaptasi di lahan kering, tidak membutuhkan banyak air, dan bahkan tahan terhadap lahan masam. Selain itu, sorgum dapat diolah menjadi produk yang memiliki banyak manfaat.
“Pengembangan dari komoditas sorgum untuk ternak, untuk pangan dan bahan bakar, dan sekarang ini sudah ada juga yang dikembangkan untuk industri pupuk, makanan dan industri lainnya,” kata Amin dalam diskusi yang sama.
Sorgum masih dapat dibudidayakan di lahan marjinal, yang bahkan jagung pun sudah tidak dapat tumbuh. Pada lahan-lahan seperti inilah, sorgum sebaiknya ditanam. Lahan yang sampai saat ini masih ditanami jagung di Indonesia, sebaiknya tetap diperuntukkan untuk komoditas tersebut, agar pasokannya tidak terganggu.
Singkong Lebih Menjanjikan
Sementara itu, kepada VOA, Kepala Pusat Inovasi Agroteknologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Dr Taryono, menilai sebaiknya pemerintah tidak hanya memusatkan konsentrasinya untuk mengembangkan sorgum sebagai produk alternatif pengganti saja.
“Kalau saya, cenderung menggunakan singkong. Dan singkong ini kan dengan adanya tepung mocaf, modified cassava itu kan dapat digunakan untuk mengganti gandum, baik itu untuk industri mie instan dan juga roti. Dan potensi produktivitasnya sangat tinggi,” kata Taryono.
Ia berpendapat bahwa masih diperlukan penelitian yang lebih jauh untuk memanfaatkan sorgum sebagai tepung pengganti gandum. Sementara tepung mocaf dari singkong, menurutnya, sejauh ini sudah dipakai dan dibuktikan oleh masyarakat sebagai bahan pengganti gandum.
“Kemudian yang kedua itu jagung, tetapi yang putih, dulu namanya jagung lokal. Istilahnya jagung pangan, bukan jagung pakan. karena sebenarnya, jagung putih itu sudah dipakai untuk bikin mie, yang mie bihun. Secara tradisional itu sudah,” tambah Taryono.
“Selain itu, dari sisi pemuliaan, meningkatkan produktivitas jagung itu akan lebih mudah daripada meningkatkan produktivitas sorgum, karena teknologi hibridanya sudah dikuasai. Kemungkinan yang ketiga, tentu saja kita punya sagu,” tambah Taryono.
Keunggulan singkong dan jagung, kata Taryono, adalah karena sudah akrab dengan petani. Jika ingin meningkatkan produktivitas, pemerintah hanya tinggal menciptakan inovasi teknologi.
“Dan daerah penghasil singkong kita sudah tahu, Lampung. Kemudian, food estate yang dibangun Pak Prabowo dan Pak Luhut, itu basisnya ada yang singkong. Karena singkong itu tahan lahan masam, seperti lahan-lahan di Kalimantan, di sana singkong tetap bisa hidup. Begitu pula di NTT,” ujar Taryono lagi. [ns/rs]
Forum