Di Negara Bagian Kachin, Myanmar, hampir 100.000 orang telantar tinggal di sejumlah kamp yang berada di wilayah yang dikuasai sayap politik pemberontak,Tentara Kemerdekaan Kachin (KIA). Juni 2019 menandai berlanjutnya pertempuran antara pasukan pemerintah Myanmar dan KIA. Sumber masalah konflik itu antara lain kontrol atas sumber daya, termasuk batu giok dan proyek pembangkit listrik tenaga air.
Warga sipil Kachin memanjatkan doa-doa khusus, menandai delapan tahun konflik berkepanjangan dan ketidakstabilan di Myanmar Utara bulan Juni lalu.
Banyak anak-anak menghabiskan hidup mereka sebagai pengungsi sementara pasukan Myanmar dan Tentara Kemerdekaan Kachin berebut menguasai wilayah itu.
Sejumlah warga lanjut usia, seperti Jang Maw Gam Maw, 86 tahun, telah lebih lama lagi mengalami perang – sejak beberapa waktu setelah Tentara Burma berkuasa pada tahun 1962. Seorang pastor Kachin, Jang Maw Gam Maw mengemukakan, “Dalam hati saya, saya merasa sangat tertekan karena kami ditindas seperti ini. Kami ingin anak-anak kami mendapatkan pendidikan yang baik, seperti anak-anak lainnya. Tapi mereka tidak bisa karena kami dianiaya seperti ini.”
Sejumlah badan bantuan amal menyatakan akses ke para pengungsi dalam beberapa tahun terakhir diperketat oleh pihak pemerintah yang berkonflik, sehingga mempersulit akses mendapatkan makanan.
Sejumlah lahan yang pernah dimiliki penghuni kamp, sekarang dikembangkan oleh sejumlah perusahaan baru di daerah-daerah kekuasaan pemerintah. Seorang perempuan Kachin yangmengungsi, Roi San menyatakan, "Jika kembali ke rumah, kami harus mulai dari nol lagi. Saya pikir kami tidak bisa melakukan apa yang kami lakukansebelum konflik. Kami harus mulai hidup dari awal lagi.”
Pembicaraan damai antara militer Myanmar dan KIA yang sedang berlangsung hanya membuahkan sedikit hasil karena kedua pihak bersikukuh terkait isu-isu penguasaan sumber daya lokal. Ini adalah argumen yang umum di kalangan kelompok-kelompok etnik yang bertikai.
Sementara itu, negara tersebut menghadapi masalah pertumbuhan yang terbatas, terutama di wilayah-wilayah kekuasaan pemerintah. Sementara pemilu 2020 semakin dekat, persatuan dan tingkat pertumbuhan yang dijanjikan pemimpin Myanmar Aung San Su Kyi kian tertinggal sementara perjuangan bagi keseimbangan dan dan kesetaraan terus berlanjut. [mg/uh]