Yigal Yehoshua, seorang lelaki Yahudi berusia 56 tahun, meninggal dunia pertengahan Mei lalu. Ia tewas setelah dilempari batu, di tengah-tengah kerusuhan antara warga Arab dan Yahudi di kota Lod, Israel, yang warganya berasal dari beragam latar belakang etnik.
Kekerasan etnik itu terjadi di tengah-tengah pertempuran 11 hari antara pasukan Israel dan militan Hamas di Gaza, yang dipicu oleh berbagai protes dan bentrokan di Yerusalem.
Di Lod serta di berbagai kota lain di dalam wilayah Israel yang memiliki penduduk dari beragam etnik, geng-geng warga Arab dan Yahudi saling berkelahi dan bentrok di jalan-jalan. Mereka membakar mobil-mobil, juga tempat-tempat usaha.
Namun setelah bentrok berhari-hari, siang dan malam, ada momen langka mengenai harapan persatuan, ketika Randa Aweis, yang berusia 58 tahun, menerima salah satu ginjal Yehoshua setelah menunggu donor selama 10 tahun.
Yehoshua tercatat sebagai donor organ. Secara medis, lelaki Yahudi dan perempuan Arab itu cocok sebagai pendonor dan penerima ginjal.
“Setelah 10 tahun, saya katakan pada diri sendiri. Cukup. Tak ada ginjal. Saya tak menginginkannya. Pekan lalu hari Senin, saya menjalani cuci darah, lalu saya pulang. Setiba di rumah, saya menerima telepon dari Hadassah. Saya tak bisa mempercayainya. Sungguh, saya benar-benar tak percaya," kata Aweis ketika ditemui baru-baru ini Hadassah Medical Center di Yerusalem.
Aweis, yang ditemani putrinya, Niveen, satu dari enam anaknya, menyatakan rasa syukur yang tak henti-henti.
"Saya berterima kasih kepada mereka. Terima kasih, sebanyak-banyaknya. Mereka menyelamatkan saya. Mereka tidak mempermasalahkan apapun, Arab atau Yahudi. Dari apa yang saya dengar mengenai dia, orang-orang mengatakan bahwa ia adalah lelaki yang baik. Yigal Yehoshua orang baik, tidak melakukan pengrusakan apapun, tidak merugikan siapapun, mengapa ia dibunuh? Ini dilarang, haram. Harus ada perdamaian antara Yahudi dan Arab. Perdamaian yang sejati, bukan bohong-bohongan," paparnya.
Warga Israel, yang sudah lama terbiasa dengan kerusuhan yang sesekali terjadi di Gaza dan wilayah pendudukan Tepi Barat, terguncang oleh kekerasan itu. Kekerasan belakangan ini terjadi lebih dekat lagi ke rumah mereka daripada masa-masa sebelumnya, sejak berlangsung intifada, atau pergolakan Palestina.
Kadang-kadang, ini terlihat seperti dimulainya perang saudara.
Warga Arab di Israel, yang merupakan 20 persen dari populasi negara itu, menyatakan, kekerasan itu berakar dari berbagai keluhan lama.
Mereka memiliki kewarganegaraan, termasuk hak untuk memilih, tetapi mereka menghadapi diskriminasi yang meluas.
Mereka juga memiliki hubungan kekerabatan yang dekat dengan warga Palestina dan kebanyakan mengidentifikasi diri sebagai pendukung gerakan Palestina, membuat banyak warga Israel keturunan Yahudi memandang mereka dengan penuh kecurigaan.
Sewaktu kematian Yehoshua diumumkan, PM Israel Benjamin Netanyahu mengemukakan, “Kami akan menyelesaikan masalah ini dengan memburu siapapun yang terlibat dalam pembunuhan ini, tidak seorang pun yang akan lolos dari hukuman.”
Polisi telah menangkap beberapa tersangka yang terkait dengan kekerasan itu.
Aweis tidak pernah bertemu dengan Yehoshua, tetapi ia berbicara dengan jandanya dalam pertemuan melalui video yang dipenuhi dengan isak tangis.
"Saya berbicara dengan istrinya yang malang, ia banyak menangis. Ia menjenguk saya melalui video call. Saya sedang di unit perawatan intensif. Situasinya agak sulit baginya. Apa yang dapat kami lakukan?” kata Aweis.
Ketika ditanya apakah ia berencana untuk menemui istri Yehoshua, Aweis mengatakan ia sudah merencanakan pertemuan itu tetapi belum dapat melakukannya. Ia berharap dapat mengunjungi keluarga Yehoshua secara langsung, duduk dan berbincang bersama, begitu ia pulih dari operasi cangkok ginjalnya.
"Ia menyelamatkan saya. Yigal menyelamatkan saya, dan sebanyak apapun saya ucapkan terima kasih, kepada keluarganya kepada siapapun, ini mish kifaya, tidak cukup.” [uh/ab]