Pelantikan seorang kepala dukuh terpilih di Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta pekan lalu ditolak warganya sendiri. Padahal, Yuli Lestari, nama kepala dukuh itu, sudah mengikuti semua proses yang disyaratkan. Dia memperoleh nilai tes terbaik dari calon yang maju, yang lima diantaranya laki-laki. Alasan penolakannya pun cukup ganjil, bukan karena kapasitasnya, Yuli ditolak karena dirinya perempuan dan lebih spesifik lagi, perempuan yang galak.
“Dibilang saya galak, tidak melayani masyarakat, dimintai tanda tangan susah. Saya koreksi diri sendiri. Saya ini perempuan. Kenapa waktu pendaftaran panitia seleksi tidak menolak syarat saya. Semua syarat saya oke, panitia menerima. Tidak ada masalah apa-apa dengan prosedur. Saya ikut tes, rangking satu. Lha salah saya sebagai perempuan apa?,” ujar Yuli yang akhirnya tetap dilantik.
Bupati Bantul hingga Gubernur DIY kompak mendukung Yuli. Undang-undang menjamin hak perempuan berumur 41 tahun itu untuk mencalonkan diri. Selama sepekan terakhir, proses pendekatan di masyarakat terus dilakukan. Yuli optimis masyarakat akan bisa menerimanya.
Persaingan Politik Tidak Ramah Perempuan Apa yang terjadi pada Yuli, adalah gambaran kecil nasib perempuan di tengah pusaran politik Indonesia. Di lapangan yang berbeda, dalam pemilihan calon anggota legislatif (caleg) misalnya, perempuan memiliki tantangan jauh lebih besar dari caleg laki-laki.
Setidaknya, itu yang dipaparkan Yuni Satia Rahayu, Caleg PDI P yang tahun ini terpilih duduk di DPRD DIY. Yuni berbicara pada diskusi “Perempuan dalam Pesta Demokrasi Elektoral” di Institute for Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta, Jumat (24/5).
Menurut Yuni, dari sisi pemilih, sudah ada perbedaan mencolok antara laki-laki dan perempuan. Pemilih perempuan masih bisa didekati dengan program, sebaliknya pemilih laki-laki, menurut pengalaman dia di lapangan, cenderung berbicara soal uang. “Saya selalu percaya, kalau memilih konstituen itu ibu-ibu saja. Banyak permintaan kalau bapak-bapak, minta kursi, minta tenda. Saya mundur teratur kalau sudah minta tenda atau kursi,” kata Yuni.
Di samping soal pemilih, sistem Pemilu juga dinilai kurang adil bagi perempuan. Banyak partai menempatkan perempuan di nomor bawah, sehingga potensi untuk terpilih lebih kecil. Dua faktor itu pada gilirannya, membuat perempuan sulit diajak ikut bersaing menjadi caleg. Yuni memberi contoh, dari sekitar 40 peserta pelatihan kader perempuan di partainya, hanya 1 atau 2 orang yang akhirnya mau menjadi caleg.
“Kalau kita bermimpi, perempuan di 2024 jumlah calegnya akan naik. Tetapi kalau sistemnya tidak diubah, justru akan semakin tergerus. Saya sangat menghargai perjuangan untuk meningkatkan kuota 30 persen perempuan, baik di struktur pengurus partai maupun di pemilihan legislatif. Tetapi menjadi sia-sia, ketika perempuan yang diajukan ada yang serius ada yang tidak,” kata Yuni.
Dalam diskusi yang sama, Dina Mariana, peneliti IRE mengakui, dalam politik perempuan juga memiliki kendala kultural. Contohnya adalah karena kepala keluarga kadang menjadi penentu kepada siapa suara istri dan anak-anaknya akan diberikan. Dalam posisi ini, pemilih perempuan menjadi tidak berdaya untuk memilih Caleg perempuan.
“Juga ada tantangan caleg perempuan, yaitu uang, jaringan atau teman-teman yang tidak banyak dan apalagi secara finansial tergantung pada suami. Karena itu, ketika ada negosiasi soal tenda dan kursi tadi, caleg perempuan memilih mundur, emoh. Kita menemukan ini di lapangan,” kata Dina.
Preti Epira dari Komite Independen Sadar Pemilu yang hadir dalam diskusi ini menyebut, setidaknya ada tiga masalah bagi Caleg perempuan. Masalah pertama adalah ketidakpercayaan masyarakat kepada caleg perempuan. Kedua, sistem pemilu di indonesia yang tidak ramah dimana perempuan dipaksa bersaing dengan laki-laki dalam perang finansial. Terakhir, adalah masalah kaderisasi partai politik. Banyak partai politik kurang bijak merespon kuota 30 persen dengan mencari caleg perempuan tanpa kaderisasi, tetapi justru memilih istri politisi atau pejabat.
Hambatan Yang Melecut Semangat Perempuan Ditemui terpisah, Triwahyuni Suci Wulandari, menilai, dua kasus berbeda, yaitu perempuan sebagai pamong dan anggota legislatif mewakili wajah perempuan dalam politik Indonesia. Triwahyuni adalah Direktur Program di Institute Development and Economic Analisys (IDEA) Yogyakarta.
“Dalam konteks politik, ini menjadi persoalan besar mengingat gerakan partisipasi perempuan sudah diperjuangkan sejak lama, semenjak era reformasi. Bahkan saat ini, minimal kuota 30 persen harus terpenuhi dalam konteks partisipasi politik elektoral,” kata Triwahyuni kepada VOA.
IDEA selama ini berjuang mendorong perempuan lebih berkiprah di sektor publik. Sepanjang masa kampanye Pemilu 2019, IDEA aktif melatih calon legislatif perempuan agar mampu bersaing. Berbagai masalah yang dihadapi perempuan dalam politik, kata Triwahyuni, menjadi ironi di tengah upaya mereka mendorong perempuan maju berkompetisi. Banyak yang mampu melawan hambatan pertama mereka, yaitu ketakutan untuk bersaing. Karena itu, hambatan yang muncul setelah itu tidak boleh menjadikan minat perempuan dalam politik, turun.
“Bisa jadi ini akan membuat perempuan lain takut untuk maju, tetapi bisa juga jadi momentum bagi perempuan untuk merebut posisi strategis itu. Dalam banyak kasus, misalnya kekerasan terhadap perempuan, adanya kasus malah meningkatkan kepedulian. Tren sekarang, kasus seperti ini akan menjadi pelecut bagi perempuan untuk unjuk gigi dan merebut posisi strategis, baik dalam posisi pamong desa maupun politik elektoral. Jadi, ada dampak positif kasus ini,” ujar Triwahyuni.
Data menunjukkan, jumlah legislator perempuan terus berubah. Pada pemilu 1999 tercatat 44 perempuan duduk di DPR RI. Pada 2004, jumlahnya naik menjadi 65 dan 2009 naik lagi menjadi 100 orang. Angka tersebut turun pada pemilu 2014 menjadi 97 orang, sedangkan hasil 2019 masih menunggu jumlah pasti, seiring penyelesaian terakhir sengketa Pemilu di Mahkamah Konstitusi. [ns/em]