Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan perempuan menjadi prioritas berbagai program yang didanai APBN. Bukan hanya tahun ini, tetapi juga anggaran tahun sebelumnya. Keberpihakan itu, kata Sri Mulyani, antara lain karena perempuan juga, yang menjadi investor mayoritas bagi Surat Utang Negara (SUN).
Berbicara dalam refleksi awal tahun 2021 Kaukus Perempuan Parlemen Indonesia, Senin (4/1) sore, Sri Mulyani memaparkan, ketika pendapatan turun karena guncangan ekonomi, pemerintah harus menerbitkan Surat Utang Negara.
“Utangya ke siapa? Ya, ke para ibu-ibu. Karena demografi investor kita yang membeli di ritel, 56 persen adalah perempuan. Mereka yang membeli surat berharga negara. Bahkan untuk ORI bisa mencapai 58 persen. Jadi, perempuan itu mampu dan mereka mengerti, bagaimana menempatkan uang di tempat instrumen investasi yang baik,” kata Sri Mulyani.
APBN Memberdayakan Perempuan
Sebagai timbal balik, program-program pemerintah juga menempatkan perempuan sebagai sasaran. Sri Mulyani mencontohkan, Program Keluarga Harapan (PKH) yang diberikan kepada 10 juta rumah tangga, 90 persennya adalah perempuan.
Usaha ultra mikro, dengan hampir 40 juta peserta, sebagian besar dijalankan oleh perempuan. Menkeu menambahkan, 53,7 persen UMKM dimiliki perempuan dan 97 persen karyawan mereka juga perempuan. “Maka, bantuan pada usaha kecil menengah itu tujuannya untuk bisa mendukung perempuan,” tambah Sri Mulyani.
Dalam kondisi ekonomi negara yang sedang sulit, perempuan menjadi faktor pembangkit. Sri Mulyani mengutip banyak survei internasional yang menunjukkan, bahwa jika suatu negara bisa membuat gender equality menjadi lebih baik, maka dampaknya tidak hanya dalam skala rumah tangga, tetapi juga ekonomi negara.
Dalam paparannya, Sri Mulyani juga menyebut berbagai program dalam APBN 2021 yang berfokus pada membantu masyarakat menanggulangi dampak pandemi. Dari APBN 2021, sekitar Rp2.750 triliun, pendidikan menerima Rp550 triliun, kesehatan Rp169 triliun, bansos dan perlindungan sosial Rp408 triliun, ketahanan pangan hampir Rp100 triliun, kebangkitan pariwisata Rp14 triliun, dan infrastruktur lain Rp411 triliun. "Dalam seluruh program itu, peran perempuan di Indonesia harus ditingkatkan," pungkasnya.
Arus Utama Politik Luar Negeri
Dalam politik luar negeri, sepanjang 2020 Indonesia juga selalu berupaya memposisikan isu perempuan dalam arus utama, seperti dipaparkan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, yang juga berbicara dalam diskusi ini. Pandemi telah memperberat upaya perdamaian di dunia, termasuk memperparah dampak konflik. Namun, upaya Indonesia untuk terlibat dalam upaya global tidak terhenti, khususnya menyangkut perempuan.
“Di semua diskusi internasional, kita letakkan isu perlindungan terhadap perempuan dan pemberdayaan perempuan secara bersama,” ujar Retno.
Semangat itu diwujudkan dalam berbagai langkah. Retno memberi contoh, inisiasi Indonesia melalui resolusi 2538 mengenai 'Women in Peacekeeping' yang juga sudah diadopsi. Menurut Retno, ini merupakan resolusi pertama Dewan Keamanan PBB yang secara khusus membahas peran pasukan perempuan dalam misi perdamaian dunia.
“Dan resolusi ini memiliki makna yang sangat penting karena akan mendorong terciptanya kondisi kondusif bagi personel perempuan dalam misi-misi PBB, dan menunjukkan keberpihakan kita untuk meningkatkan jumlah penjaga perdamaian perempuan di misi-misi PBB,” lanjut Retno.
Resolusi ini berangkat dari keprihatinan di dalam negeri. Menurut Retno, ini adalah bentuk perhatian terhadap jumlah perempuan dalam misi PBB, termasuk penjaga perdamaian, di mana Indonesia hanya memiliki lima persen atau 163 orang dari 2.828 penjaga perdamaian dalam delapan misi PBB.
Meningkatkan jumlah penjaga perdamaian perempuan, Retno menambahkan, sangat penting. Salah satu sebabnya, penjaga perdamaian perempuan menunjukan performa yang sangat baik dan lebih mudah diterima masyarakat, terutama untuk mengobati luka psikologis akibat konflik.
Inisiasi kedua, ujarnya lagi, adalah pembentukan jaringan perempuan untuk perdamaian. Jaringan ini penting sebagai wadah saling berbagi pengalaman, terutama bagi generasi muda, dan mendorong lebih banyak negosiator perempuan yang akan terlibat dalam proses perdamaian.
“Dan Indonesia, sekali lagi, memprakarsai pembentukan sejumlah jaringan bagi perempuan. Di Afghanistan, kita membentuk Afghanistan-Indonesia Women Solidarity Network, pada 1 Maret 2020. Kemudian di ASEAN, Indonesia menginisiasi dibentuknya Southeast Asian Network of Women Peace Negotiator and Mediator,” jelas Retno.
Dampak ke Sektor Tenaga Kerja
Dalam sektor tenaga kerja, pandemi juga memberi dampak yang lebih berat bagi perempuan. Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah mengakui, banyak perempuan bekerja mengalami penurunan atau kehilangan pendapatan. Skema bekerja dari rumah sebenarnya juga memberi beban tambahan bagi perempuan.
“Kegiatan 'School From Home' bagi anak sekolah, juga menambah beban bagi sebagian ibu yang harus menjadi garda terdepan untuk mendampingi proses pembelajaran anak di rumah,” kata Ida.
Secara umum, lanjut Ida, hal itu disebabkan budaya yang memberi beban tugas domestik sepenuhnya kepada perempuan, ditambah regulasi ketenagakerjaan yang kurang memberi fleksibilitas jam kerja, sehingga banyak perempuan yang masih enggan masuk ke pasar kerja.
Ketimpangan bagi perempuan, juga terlihat dalam sektor pendidikan. Menurut Ida, persentase angkatan kerja perempuan berpendidikan sangat rendah, yaitu SD ke bawah jumlahnya lebih besar dari laki-laki. Sedangkan angkatan kerja dengan tingkat pendidikan menengah, SMP dan SMA, persentase perempuan justru lebih rendah.
“Data juga menunjukkan, bahwa rata-rata upah perempuan untuk semua jenis jenjang pendidikan masih berada cukup jauh di bawah upah buruh laki-laki. Ini, kembali menunjukkan adanya ketimpangan,” lanjut Ida. [ns/ka]