HIV/AIDS dan diskriminasi adalah dua hal yang hingga kini masih belum terpisahkan. Banyak orang dengan HIV/AIDS atau ODHA, terutama kaum perempuan, dilaporkan mengalami diskriminasi di rumah, tempat kerja bahkan di fasilitas kesehatan.
Koordinator nasional Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI), Baby Rivona Nasution, mengatakan bahwa perempuan dengan HIV rentan terhadap kekerasan dan mereka tidak paham hak-haknya sebagai perempuan dan pasien rumah sakit.
“Dapat diskriminasi di rumah sakit merasa biasa karena semua orang juga kena diskriminasi, lalu cuma bisa menangis,” ujarnya Baby di sela-sela diskusi mengenai kekerasan terhadap perempuan dengan HIV di Konferensi AIDS 2012, Washington DC, yang berlangsung pada 22-27 Juli 2012.
Baby mengatakan bahwa meskipun sudah berkurang, namun diskriminasi dari layanan kesehatan masih dirasakan oleh perempuan dengan HIV di beberapa daerah. Salah satu bentuknya adalah upaya sterilisasi paksa terhadap perempuan dengan HIV yang baru saja melahirkan.
“Banyak perempuan tidak tahu steril itu apa, dikira membersihkan perut setelah melahirkan. Beberapa perempuan menolak, tapi di meja operasi mereka dipaksa menandatangani formulir persetujuan. Kalau mereka tidak mau tanda tangan, suaminya dihubungi, diminta tanda tangan. Kalau tidak mau, keluarganya dihubungi untuk tanda tangan,” ungkapnya.
Sebuah survei yang dilakukan oleh IPPI pada 2011 menunjukkan bahwa lebih dari 13 persen perempuan dengan HIV mengaku dipaksa melakukan sterilisasi dalam kurun 2006-2011. Survei ini dilakukan terhadap 111 responden IPPI di delapan provinsi di Indonesia yaitu Bali, Sumatera Utara, Jambi, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Barat, DKI Jakarta dan DI Yogyakarta.
IPPI sangat menyayangkan kasus ini karena sterilisasi seharusnya merupakan pilihan. Baby menambahkan, seiring dengan berkembangnya temuan dalam bidang kesehatan, kini perempuan yang HIV positif pun bisa menghasilkan keturunan yang HIV negatif melalui program pencegahan penularan dari ibu ke anak. Keluarga Baby adalah contoh nyata. Ia dan suaminya HIV positif, namun anak-anaknya HIV negatif.
Program inilah yang terus disosialisasikan oleh IPPI serta jaringan perempuan yang terinfeksi HIV dan yang terdampak yaitu perempuan yang pasangannya HIV positif.
“Komitmen kita di IPPI adalah perempuan yang positif bisa berkualitas hidupnya, sedangkan perempuan negatif yang mempunyai pasangan yang positif jangan sampai menjadi positif. Bagaimana perempuan-perempuan ini bisa memiliki anak-anak yang [HIV] negatif dan sehat,” tuturnya.
Koordinator nasional Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI), Baby Rivona Nasution, mengatakan bahwa perempuan dengan HIV rentan terhadap kekerasan dan mereka tidak paham hak-haknya sebagai perempuan dan pasien rumah sakit.
“Dapat diskriminasi di rumah sakit merasa biasa karena semua orang juga kena diskriminasi, lalu cuma bisa menangis,” ujarnya Baby di sela-sela diskusi mengenai kekerasan terhadap perempuan dengan HIV di Konferensi AIDS 2012, Washington DC, yang berlangsung pada 22-27 Juli 2012.
Baby mengatakan bahwa meskipun sudah berkurang, namun diskriminasi dari layanan kesehatan masih dirasakan oleh perempuan dengan HIV di beberapa daerah. Salah satu bentuknya adalah upaya sterilisasi paksa terhadap perempuan dengan HIV yang baru saja melahirkan.
“Banyak perempuan tidak tahu steril itu apa, dikira membersihkan perut setelah melahirkan. Beberapa perempuan menolak, tapi di meja operasi mereka dipaksa menandatangani formulir persetujuan. Kalau mereka tidak mau tanda tangan, suaminya dihubungi, diminta tanda tangan. Kalau tidak mau, keluarganya dihubungi untuk tanda tangan,” ungkapnya.
Sebuah survei yang dilakukan oleh IPPI pada 2011 menunjukkan bahwa lebih dari 13 persen perempuan dengan HIV mengaku dipaksa melakukan sterilisasi dalam kurun 2006-2011. Survei ini dilakukan terhadap 111 responden IPPI di delapan provinsi di Indonesia yaitu Bali, Sumatera Utara, Jambi, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Barat, DKI Jakarta dan DI Yogyakarta.
IPPI sangat menyayangkan kasus ini karena sterilisasi seharusnya merupakan pilihan. Baby menambahkan, seiring dengan berkembangnya temuan dalam bidang kesehatan, kini perempuan yang HIV positif pun bisa menghasilkan keturunan yang HIV negatif melalui program pencegahan penularan dari ibu ke anak. Keluarga Baby adalah contoh nyata. Ia dan suaminya HIV positif, namun anak-anaknya HIV negatif.
Program inilah yang terus disosialisasikan oleh IPPI serta jaringan perempuan yang terinfeksi HIV dan yang terdampak yaitu perempuan yang pasangannya HIV positif.
“Komitmen kita di IPPI adalah perempuan yang positif bisa berkualitas hidupnya, sedangkan perempuan negatif yang mempunyai pasangan yang positif jangan sampai menjadi positif. Bagaimana perempuan-perempuan ini bisa memiliki anak-anak yang [HIV] negatif dan sehat,” tuturnya.