Sekelompok perempuan di pasar pusat di ibu kota Yaounde menyanyikan lagu yang liriknya menginginkan bebas dari ikatan praktik-praktik tradisional yang menghambat emansipasi dan kesejahteraan perempuan di seluruh Afrika. Diantara mereka adalah aktivis perempuan Emmanuella Mokake dari LSM perempuan Kamerun untuk Partisipasi dalam Pembangunan.
Mokake mengatakan, LSMnya berupaya mengubah pandangan bahwa perempuan seharusnya hanya membesarkan anak, melakukan pekerjaan rumah tangga dan bekerja di ladang.
"Perempuan dan hak asasi, serta kesetaraan gender, bukan untuk melawan laki-laki. Perempuan menyadari bahwa mereka tidak lagi mau dipaksa untuk menanggung kekerasan dalam rumah tangga, karena itu menghambat HAM mereka. Kini perempuan berani mengatakan tidak. Jika ada laki-laki memukul perempuan, akan dihukum sesuai hukum," kata Mokake.
Puluhan ribu perempuan yang berkumpul di Yaounde mengatakan, mereka tidak senang terhadap kerasnya praktik tradisional yang masih mendorong mutilasi alat kelamin perempuan dan pernikahan dini. Perkawinan paksa pada usia dini lazim dilakukan di daerah pedesaan, di mana gadis-gadis seusia 12 tahun dikawinkan secara paksa, dan para janda dipaksa untuk menikah dengan saudara laki-laki suami mereka yang meninggal.
Para perempuan yang berunjuk rasa itu juga berbicara tentang angka buta huruf yang tetap tinggi di kalangan mereka, karena banyak keluarga lebih suka hanya mengirim anak laki-laki ke sekolah dan meminta para gadis untuk menemani ibu mereka ke ladang, sebelum mereka menikah pada usia dini.
PBB melaporkan, undang-undang Kamerun sangat diskriminatif terhadap perempuan dan reformasi hukum diperlukan untuk meningkatkan perlindungan hak asasi perempuan. PBB juga menyatakan bahwa hukum adat diterapkan oleh penguasa tradisional, yang masih mendorong praktik-praktik diskriminatif.
Hukum di Kamerun menetapkan usia minimum untuk menikah bagi anak perempuan 15 tahun dan 18 tahun bagi anak laki-laki.
Jumlah perempuan 52 persen dari penduduk dewasa di Kamerun, tetapi hanya 28 persen dari mereka sebagai pemilih yang terdaftar, menurut Badan Manajemen Pemilihan Umum Kamerun, ELECAM.
Perwakilan PBB Urusan Perempuan untuk Kamerun, Hind Jalal mengatakan partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan akan meningkatkan persepsi sebagian laki-laki tentang mereka.
"Kami harus mengubah aturan pemilu secara kuat dan eksplisit, menyebutkan kesetaraan gender dan untuk mendorong para pemangku kepentingan politik supaya lebih tegas, karena terus mengekang perempuan tidak akan membawa kemakmuran dan masa depan yang lebih baik bagi Kamerun," kata Jalal.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Kamerun, Marie Theres Abena Ondou mengatakan, terlepas dari tantangan, banyak yang telah dilakukan untuk memperbaiki masalah ini karena ada 58 perempuan di antara 180 anggota majelis rendah dan 36 wanita di antaranya adalah walikota di negara itu.
“Kursus pelatihan dilakukan untuk mengajari mereka cara menjual program (politik) mereka. Politik disediakan untuk laki-laki dan jika perempuan harus maju, mereka memerlukan dukungan laki-laki. Perempuan mampu dan juga berani, tapi banyak dari mereka tidak tahu bagaimana merumuskan persoalan yang dihadapi. Lingkungannya tidak ramah. Tradisi harus berubah. Kami menjaga tradisi yang baik tetapi juga harus meninggalkan tradisi yang buruk," kata Marie Theres Abena Ondou.
Ondou mengatakan, pemerintah mengambil semua langkah yang diperlukan untuk meningkatkan pendidikan bagi perempuan dan anak perempuan dengan fokus khusus daerah pedesaan dan dengan melakukan kampanye-kampanye peningkatan kesadaran masyarakat. [ps/ii]