NEW YORK —
Aksi seseorang di Facebook, seperti memberikan “like” untuk sesuatu, ternyata membantu mendikte apa yang dijual di toko-toko di Amerika selama musim liburan akhir tahun ini.
Setelah melakukan survei pelanggan di situs media sosial tersebut, pusat perbelanjaan Macy’s memutuskan untuk menjual celana jins berwarna menyala daripada warna pastel. Wal-Mart untuk pertama kalinya memutuskan untuk membiarkan pelanggan memilih mainan mana yang harus diberikan potongan harga. Dan untuk merencanakan pesanan bendera hiasan yang lebih baik, seorang pemilik usaha kecil di Mississipi mengadakan kontes yang mendorong pelanggan untuk memberitahu bagaimana mereka menghias rumahnya pada musim dingin ini.
Dampak media sosial pada perusahaan sulit diukur, karena tidak ada data pasti bagaimana jutaan penggemar di Facebook dan pengikut di Twitter diterjemahkan ke dalam penjualan di toko. Namun selama musim belanja akhir tahun ini, periode dua bulan di mana para peritel mendapatkan 40 persen dari pendapatan per tahun, toko-toko melakukan riset pasar lewat Internet.
Hasilnya adalah, setiap kali pengguna menekan tombol “like” untuk menyukai halaman perusahaan tertentu atau berkomentar bagaimana mereka menyukai sepatu bot kulit yang baru mereka beli, mereka membantu toko kecil sampai peritel besar membuat keputusan mengenai produk apa yang akan dipesan dan bagaimana mendandani toko serta promosi apa yang akan ditawarkan di Internet.
Macy’s Inc, misalnya, memiliki lebih dari sembilan juta “like” di Facebook, dan melakukan survei-survei untuk menentukan warna celana jins dan motif rok yang seharusnya dijual.
Daripada hanya menggunakan media sosial untuk promosi dan iklan produk baru, perusahaan-perusahaan di Amerika sekarang menyadari arti membuat pelanggan merasa mereka adalah bagian pembuatan keputusan, ujar Jennifer Kasper, yang mengepalai divisi media digital di Macy’s.
Matt Cronin, mitra pendiri Web Liquid Group, sebuah agensi pemasaran digital, mengatakan bahwa perusahaan-perusahaan masih dalam tahap awal dalam menentukan bagaimana menggunakan profil media sosial mereka. Sampai sekarang, ia melihat strategi-strategi media sosial hanya diprioritaskan untuk mendapat pengikut atau penggemar sebanyak mungkin tanpa tahu bagaimana langkah berikutnya.
Salah satu kendala bagi peritel besar adalah kesulitan mengambil informasi yang didapat di Internet dan menggunakannya selagi trennya masih relevan, ujar Nicolas Franchet, kepala bisnis Internet ritel di Facebook.
Wal-Mart Store Inc., misalnya. Setiap Selasa, toko tersebut menggelar kontes agar penggemar dapat menentukan mainan yang didiskon. Saat pemenangnya diumumkan Kamis, peritel tersebut segera menginformasikan 4.000 toko di seluruh negara untuk menyesuaikan harga dan tampilan di toko, ujar Wanda Young, direktur media sosial senior di Wal-Mart, yang memiliki 25 juta “like” di Facebook.
Tidak hanya lewat media sosial, tahun lalu, Wal-Mart, yang berbasis di Bentonville, Arkansas, mengakuisisi perusahaan analitik bernama Kosmix dan mengubahnya menjadi Walmartlabs. Unit ini ditugaskan mengamati obrolan di Internet untuk mencoba dan memprediksi produk-produk apa yang tiba-tiba populer.
Hal tersebut penting karena para perusahaan sadar perilaku belanja seringkali dipengarui oleh apa yang terjadi dalam budaya pop dibandingkan dengan pola belanja mereka sendiri, ujar Shernaz Daver, juru bicara Walmartlabs.
"Media sosial telah membuat kita mengerti niat [pelanggan],”ujarnya. (AP/Candice Choi dan Christina Rexrode)
Setelah melakukan survei pelanggan di situs media sosial tersebut, pusat perbelanjaan Macy’s memutuskan untuk menjual celana jins berwarna menyala daripada warna pastel. Wal-Mart untuk pertama kalinya memutuskan untuk membiarkan pelanggan memilih mainan mana yang harus diberikan potongan harga. Dan untuk merencanakan pesanan bendera hiasan yang lebih baik, seorang pemilik usaha kecil di Mississipi mengadakan kontes yang mendorong pelanggan untuk memberitahu bagaimana mereka menghias rumahnya pada musim dingin ini.
Dampak media sosial pada perusahaan sulit diukur, karena tidak ada data pasti bagaimana jutaan penggemar di Facebook dan pengikut di Twitter diterjemahkan ke dalam penjualan di toko. Namun selama musim belanja akhir tahun ini, periode dua bulan di mana para peritel mendapatkan 40 persen dari pendapatan per tahun, toko-toko melakukan riset pasar lewat Internet.
Hasilnya adalah, setiap kali pengguna menekan tombol “like” untuk menyukai halaman perusahaan tertentu atau berkomentar bagaimana mereka menyukai sepatu bot kulit yang baru mereka beli, mereka membantu toko kecil sampai peritel besar membuat keputusan mengenai produk apa yang akan dipesan dan bagaimana mendandani toko serta promosi apa yang akan ditawarkan di Internet.
Macy’s Inc, misalnya, memiliki lebih dari sembilan juta “like” di Facebook, dan melakukan survei-survei untuk menentukan warna celana jins dan motif rok yang seharusnya dijual.
Daripada hanya menggunakan media sosial untuk promosi dan iklan produk baru, perusahaan-perusahaan di Amerika sekarang menyadari arti membuat pelanggan merasa mereka adalah bagian pembuatan keputusan, ujar Jennifer Kasper, yang mengepalai divisi media digital di Macy’s.
Matt Cronin, mitra pendiri Web Liquid Group, sebuah agensi pemasaran digital, mengatakan bahwa perusahaan-perusahaan masih dalam tahap awal dalam menentukan bagaimana menggunakan profil media sosial mereka. Sampai sekarang, ia melihat strategi-strategi media sosial hanya diprioritaskan untuk mendapat pengikut atau penggemar sebanyak mungkin tanpa tahu bagaimana langkah berikutnya.
Salah satu kendala bagi peritel besar adalah kesulitan mengambil informasi yang didapat di Internet dan menggunakannya selagi trennya masih relevan, ujar Nicolas Franchet, kepala bisnis Internet ritel di Facebook.
Wal-Mart Store Inc., misalnya. Setiap Selasa, toko tersebut menggelar kontes agar penggemar dapat menentukan mainan yang didiskon. Saat pemenangnya diumumkan Kamis, peritel tersebut segera menginformasikan 4.000 toko di seluruh negara untuk menyesuaikan harga dan tampilan di toko, ujar Wanda Young, direktur media sosial senior di Wal-Mart, yang memiliki 25 juta “like” di Facebook.
Tidak hanya lewat media sosial, tahun lalu, Wal-Mart, yang berbasis di Bentonville, Arkansas, mengakuisisi perusahaan analitik bernama Kosmix dan mengubahnya menjadi Walmartlabs. Unit ini ditugaskan mengamati obrolan di Internet untuk mencoba dan memprediksi produk-produk apa yang tiba-tiba populer.
Hal tersebut penting karena para perusahaan sadar perilaku belanja seringkali dipengarui oleh apa yang terjadi dalam budaya pop dibandingkan dengan pola belanja mereka sendiri, ujar Shernaz Daver, juru bicara Walmartlabs.
"Media sosial telah membuat kita mengerti niat [pelanggan],”ujarnya. (AP/Candice Choi dan Christina Rexrode)