Sekitar 1.000 orang menghadiri peringatan 10 tahun tragedi kemanusiaan bom Bali di Kawasan Garuda Wisnu kencana (GWK) Jimbaran Bali, Jumat (12/10), termasuk Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa dan Perdana Menteri Australia Julia Gillard.
Dalam pidatonya, Marty mengatakan peringatan 10 tahun tragedi ini diharapkan menjadi momentum untuk mempertegas dan memperkuat semangat toleransi. Peringatan ini juga merupakan momentum untuk saling memahami perbedaan dan menjadi semangat untuk melawan kaum ekstremis, ujar Marty.
Marty menambahkan bahwa perlu komitmen bersama untuk memerangi ekstremisme dan intoleransi, sebab pelaku teror terus berusaha untuk menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan dan kebersamaan yang dianut secara universal.
“Serangan mereka merupakan serangan terhadap kemanusiaan. Mereka ingin menebar benih perselisihan dan perpecahan, dan mereka telah gagal. Serangan itu justru telah mempersatukan pemerintah, serta warga sipil dari berbagai latar belakang dan kebangasaan, untuk saling membantu satu sama lain,” ujar Marty.
Sementara itu, Perdana Menteri Gillard mengatakan perlu ada usaha untuk terus meningkatkan kewaspadaan terhadap terorisme, termasuk upaya meningkatkan kerja sama dalam melawan terorisme sebab melawan terorisme tidak dapat dilakukan sendirian. Australia juga akan semakin memperkuat kerjasama dengan Indonesia dalam melawan terorisme, ujarnya.
“Kami akan berpegang teguh pada tekad kami, sebagai orang-orang bebas untuk menjelajahi dunia, tidak terikat oleh rasa takut. Karena kita memutuskan untuk mengalahkan terorisme, tugas kita untuk membantu satu sama lain,” ujar Gillard.
Para korban bom Bali masih berharap adanya bantuan untuk mendapatkan layanan kesehatan, terutama untuk perawatan dan pengobatan luka yang didapat 10 tahun lalu.
Seorang korban bernama Khusnul Khotimah mengatakan bantuan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) yang diberikan pemerintah tidak bermanfaat.
“Jamkesmas tidak bisa dipakai untuk berobat ke rumah sakit, alasannya keloid adalah termasuk perawatan kecantikan, jadi saya harus bayar sendiri. Untuk pengobatan ini saya terpaksa harus berhutang ke sana ke mari, karena dari dari kurun waktu 10 tahun dari pemerintah tidak ada perhatian sama sekali untuk korban seperti saya,” ujarnya.
Tragedi di Bali terjadi pada 12 Oktober 2002, ketika dua orang pengebom bunuh diri meledakkan bom pada klab-klab malam yang dipenuhi turis dan menewaskan 202 orang, termasuk 88 orang Australia.
Dalam pidatonya, Marty mengatakan peringatan 10 tahun tragedi ini diharapkan menjadi momentum untuk mempertegas dan memperkuat semangat toleransi. Peringatan ini juga merupakan momentum untuk saling memahami perbedaan dan menjadi semangat untuk melawan kaum ekstremis, ujar Marty.
Marty menambahkan bahwa perlu komitmen bersama untuk memerangi ekstremisme dan intoleransi, sebab pelaku teror terus berusaha untuk menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan dan kebersamaan yang dianut secara universal.
“Serangan mereka merupakan serangan terhadap kemanusiaan. Mereka ingin menebar benih perselisihan dan perpecahan, dan mereka telah gagal. Serangan itu justru telah mempersatukan pemerintah, serta warga sipil dari berbagai latar belakang dan kebangasaan, untuk saling membantu satu sama lain,” ujar Marty.
Sementara itu, Perdana Menteri Gillard mengatakan perlu ada usaha untuk terus meningkatkan kewaspadaan terhadap terorisme, termasuk upaya meningkatkan kerja sama dalam melawan terorisme sebab melawan terorisme tidak dapat dilakukan sendirian. Australia juga akan semakin memperkuat kerjasama dengan Indonesia dalam melawan terorisme, ujarnya.
“Kami akan berpegang teguh pada tekad kami, sebagai orang-orang bebas untuk menjelajahi dunia, tidak terikat oleh rasa takut. Karena kita memutuskan untuk mengalahkan terorisme, tugas kita untuk membantu satu sama lain,” ujar Gillard.
Para korban bom Bali masih berharap adanya bantuan untuk mendapatkan layanan kesehatan, terutama untuk perawatan dan pengobatan luka yang didapat 10 tahun lalu.
Seorang korban bernama Khusnul Khotimah mengatakan bantuan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) yang diberikan pemerintah tidak bermanfaat.
“Jamkesmas tidak bisa dipakai untuk berobat ke rumah sakit, alasannya keloid adalah termasuk perawatan kecantikan, jadi saya harus bayar sendiri. Untuk pengobatan ini saya terpaksa harus berhutang ke sana ke mari, karena dari dari kurun waktu 10 tahun dari pemerintah tidak ada perhatian sama sekali untuk korban seperti saya,” ujarnya.
Tragedi di Bali terjadi pada 12 Oktober 2002, ketika dua orang pengebom bunuh diri meledakkan bom pada klab-klab malam yang dipenuhi turis dan menewaskan 202 orang, termasuk 88 orang Australia.