Sejumlah warga desa di sekitar Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 1 Jawa Barat Indramayu yang berlokasi di Desa Sumur Adem, Kecamatan Sukra pada Maret 2015 bertekad membentuk Jaringan Tanpa Asap Batu Bara (Jatayu) Indramayu. Mereka terdiri dari kelompok warga di Desa Ujunggebang, Desa Sumuradem, Desa Patrol, Desa Patrol baru dan Desa Mekarsari.
Warga desa bahu membahu berserikat karena terpantik rencana pemerintah yang akan membangun PLTU II 2x1.000 MW di Desa Mekarsari, Desa Patrol dan Desa Patrol Lor, Kecamatan Patrol, serta Desa Sumuradem Kecamatan Sukra, Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Rencana pembangunan ini merupakan bagian program kebijakan energi nasional 35.000 MW yang dicanangkan Presiden Joko Widodo.
Ketua Jatayu Rodi mengaku khawatir pembangunan PLTU Indramayu 2 ini akan membuat petani dan nelayan Indramayu semakin merugi. Apalagi saat ini, kualitas tanaman padi dan palawija milik petani menurun, termasuk jumlah produksinya setelah PLTU 1 beroperasi pada 2011 lalu.
“Pertama yang kelihatan masyarakat di lima kecamatan, yaitu Kecamatan Patrol, Sukra, Hanjatan, Kandanghaur, bahkan sampai Kecamatan Bongas. Itu pohon kelapa mati dengan serentak tanpa ada penyakit apapun,” tutur Rodi kepada VOA, 29 Februari 2020.
Selain dampak PLTU terhadap usaha tani, warga menurut Rodi, juga resah dengan pencemaran dari abu pembakaran batu bara yang dinilai dapat menimbulkan sakit terutama bagi anak kecil terserang infeksi saluran pernapasan akut (ISPA).
Sedang hal lain, warga merasakan suhu atau iklim lokal sekitar desa di dekat PLTU menjadi semakin panas dari sebelumnya.
“Sebagian besar sakitnya ISPA. Makanya kalau di Puskesmas Sukra itu sebagian besar yang sakit adalah balita atau di bawah usia 12 tahun,” tambah Rodi.
Pendapatan Nelayan Anjlok
Penasehat Jatayu Domo menambahkan, nelayan dan pencari udang rebon juga dirugikan dengan beroperasinya PLTU Indramayu 1. Menurutnya, sebelum ada PLTU, para pencari udang rebon bisa mendapatkan 50-100 kilogram sekali melayar. Namun sekarang untuk mendapat udang rebon guna dikonsumsi sendiri sudah sulit.
“Nelayan dulu menggunakan 5 liter solar saja sudah mendapatkan ikan banyak. Sekarang saja 20 liter aja belum dapat ikan sama sekali untuk menghidupi anak istri pun itu susah,” jelas Domo.
Di samping perkara hasil tangkap yang seret, nelayan juga harus terbebani biaya untuk memperbaiki jaring tangkap yang rusak karena jangkar tongkang batu bara.
Domo, Rudi dan anggota Jatayu lainnya telah mendatangi bupati, DPRD, Dinas Lingkungan Hidup kabupaten dan provinsi untuk menyuarakan penolakan pembangunan PLTU Indramayu 2.
“Kami pernah ditemui Setneg, Kepresidenan, Komnas Ham, dan KPK sudah 2 kali dan sampai ke luar negeri ke Jepang bertemu Badan Kerja Sama Internasional Jepang (Japan International Cooperation Agency/JICA),” tutur Rodi.
Jatayu juga melakukan sejumlah aksi demonstrasi menolak PLTU di Indramayu dan daerah lain seperti Bandung dan Jakarta. Semisal aksi pada Januari 2020 lalu bersama warga Cirebon yang menolak PLTU Cirebon 2 di Gedung KPK, Jakarta.
Mereka menuntut lembaga antirasuah tersebut menelusuri dugaan tindakan korupsi di PLTU Indramayu 2. Ditambah lagi, bekas Bupati Indramayu Irianto Syafiuddin juga telah divonis bersalah dalam kasus korupsi pembebasan lahan seluas 82 hektare untuk PLTU Indramayu 1.
Kendati demikian, belum ada respons dari pemerintah pusat dan daerah terkait permohonan Jatayu agar rencana pembangunan PLTU Indramayu 2 dibatalkan.
Jatayu juga menempuh langkah hukum seperti menggugat izin lingkungan PLTU Indramayu 2 ke PTUN Bandung pada Juli 2017 dan berakhir dengan kemenangan mereka.
“Kami dari warga Jatayu dan Domo sampai kapanpun satu kata tolak PLTU, bubarkan PLTU. PLTU 2 saya gagalkan kalau bisa, PLTU 1 akan saya gusur supaya tutup,” pungkas Domo. [sm/em]