Di seluruh negeri, para kandidat dan partai-partai politik di Malaysia berkampanye untuk menarik perhatian calon pemilih.
Percakapan perihal pemilu tidak hanya menggaung dari kampanye di lapangan terbuka, tetapi melalui obrolan di kedai-kedai kopi. Hari pemilihan memang sudah dekat, tetapi para analis berpendapat bahwa mungkin tidak ada pemenang yang pasti bahkan setelah semua surat suara dihitung.
Pendapat demikian juga disampaikan oleh Heikal Rosnan dari Bower Group Asia, sebuah perusahaan konsultansi strategis dengan spesialisasi Indo-Pasifik.
“Skenario yang sangat memungkinkan dari dari hasil pemilu ini adalah parlemen yang tidak jelas arah kekuatannya, tidak ada koalisi yang punya cukup kursi untuk mampu membentuk pemerintahan. Saya kira akibatnya koalisi-koalisi ini akan mulai melakukan tawar-menawar, saling berbicara dan berusaha membentuk sebuah koalisi baru,” jelas Heikal Rosnan.
Sementara itu, Ibrahim Suffian, direktur lembaga riset Merdeka Center for Opinion Research menjelaskan, “Kami telah mengadakan pemilihan umum selama lebih dari 60 tahun di Malaysia dan saya rasa pemilihan tidak pernah sekompetitif yang sekarang.”
Ibrahim Suffian, direktur program di pusat riset opini publik yang berbasis di Malaysia itu mengatakan ketiga koalisi besar semuanya memiliki kebijakan populis tetapi ada perbedaan dalam citra yang dicerminkan masing-masing.
“Partai tertua, Barisan Nasional atau Front Nasional, menganut ideologi nasionalis konservatif yang mendukung agenda Melayu, agenda penduduk Melayu asli. Koalisi kedua adalah Perikatan Nasional. Ini adalah koalisi baru yang intinya adalah partai sempalan dari Barisan Nasional dan juga Partai Islam Malaysia,” imbuhnya.
Ibrahim Suffian melanjutkan, “koalisi ketiga, yang merupakan koalisi oposisi tradisional, adalah Pakatan Harapan atau Aliansi Harapan. Koalisi khusus ini memiliki kecenderungan beraliran sosial demokrat yang sedikit ke kiri, dengan pandangan multiras, sehingga tidak memihak komunitas tertentu, tetapi sangat didukung oleh minoritas di Malaysia.”
Pada tahun 2018, aliansi oposisi itu memenangkan pemilihan umum untuk pertama kalinya sejak Malaysia memperoleh kemerdekaan dari Inggris pada tahun 1957, tetapi dua tahun kemudian aliansi itu runtuh karena pembelotan. Malaysia telah memiliki empat Perdana Menteri selama lima tahun terakhir.
Pertama, Najib Razak, yang meninggalkan jabatannya pada 2018, dan kini menjalani hukuman 12 tahun penjara menyusul vonis pada 2020 atas tuduhan terkait dengan skandal korupsi bernilai miliaran dolar.
Malaysia kini berjuang untuk mengatasi inflasi selagi berusaha untuk membangun kembali ekonomi yang dihantam oleh pandemi virus corona.
Kembali Ibrahim Suffian mengatakan, “Hal terpenting yang ada di benak pemilih pada dasarnya adalah masalah biaya hidup karena upah belum tumbuh. Isu kedua adalah tata kelola pemerintahan, isu korupsi dan isu transparansi pemerintahan. Isu ketiga adalah ketidakpastian politik dalam konteks siapa yang akan mengendalikan arah negara.”
Hari pemilihan tinggal beberapa hari lagi, dan saat ini tidak jelas pihak mana yang kemungkinan akan menjadi pemenang. [lt/jm]
Forum