PT Pertamina (Persero) akan meluncurkan bahan bakar minyak (BBM) jenis baru campuran antara Pertamax dan bioetanol pada Juni ini. Bioetanol pada prinsipnya adalah etanol yang dihasilkan dari proses fermentasi bahan nabati, seperti umbi-umbian dan tebu.
“Kita mau launching produk baru yaitu bioetanol. Jadi Pertamax itu kita campur dengan bioetanol di mana etanolnya dari molases tebu. Nanti rebutan engga dengan pabrik gula? Engga, ini cuma tetes tebu saja. Jadi pabrik gula jalan, ada tetes tebunya,” kata Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati.
Selain dari tebu, bietanol jenis ini juga bisa dibuat dari singkong, jagung dan sorgum. Ke depan, Pertamina akan terus melakukan berbagai penelitian guna mengolah sumber daya nabati tersebut menjadi bio energi. Menurut Nicke, ini dilakukan bukan sekadar untuk menurunkan emisi karbon, tetapi untuk mewujudkan ketahanan, kemandirian dan kedaulatan energi nasional.
Sebelumnya, pertamina juga telah melakukan inovasi dengan meluncurkan produk bioenergi berbasis crude palm oil (CPO), yakni B35.
“Dengan B35 di tahun 2022 saja, selama setahun kita berhasil menurunkan karbon emisi sebanyak 28 juta ton, selain itu juga mengurangi impor sehingga menghemat devisa sebesar Rp122 triliun, jadi besar sekali dampaknya,” terang Nicke.
Sekretaris Perusahaan Pertamina Patra Niaga Irto Ginting kepada VOA mengatakan bioetanol tersebut akan diluncurkan pada Juli mendatang.
“Kita akan luncurkan nanti di Surabaya, mengingat sumber suplai etanolnya ada di wilayah Jawa Timur,” kata Irto.
Menurut Irto, BBM baru yang akan segera diluncurkan Pertamina merupakan campuran bioetanol dengan kadar lima persen -- biasa disebut E5 -- dan Pertamax. Campuran ini akan menghasilkan BBM kelas RON 95.
“Harganya tetap kompetitif dengan harga BBM pada kelasnya,” katanya.
Sementara itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menegaskan bahwa BBM dengan program campuran antara pertamax dengan bahan bakar nabati (BBN) bioetanol tidak akan mendapatkan subsidi dari pemerintah.
"Kalau bisa jangan sampai inilah (disubsidi). Jadi memang harus upayakan, masak Pertamax disubsidi," ungkap Arifin.
“Banyak negara lain juga sudah pakai. Cuma saat ini kita ingin memanfaatkan etanol supaya bisa menjadi alternatif untuk bisa mengurangi BBM fosil kita,” tambahnya.
Tantangan Pengembangan Bioetanol
Pengamat Energi Fabby Tumiwa menyambut baik rencana peluncuran BBM jenis baru tersebut. Langkah ini, katany, bisa menurunkan ketergantungan Indonesia terhadap impor BBM.
“Saya kira itu patut kita apresiasi karena ini adalah upaya untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor BBM dan memperkuat cadangan devisa kita karena impor BBM kita tambah besar. Separuh dari kebutuhan BBM kita diimpor. Dan walaupun gasoline itu konsumsinya jauh lebih besar daripada solar, sehingga kalau bisa disubstitusi lima persen seperti E5 ini tentunya lumayan dari sisi volume,” ungkap Fabby kepada VOA.
Fabby mengatakan inovasi serupa pernah dilakukan di masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan campuran etanol hingga 2,5 persen. Pada masa tersebut, implementasinya menemui beberapa kendala sehingga program tersebut tidak lagi dilanjutkan.
“Yang menjadi catatan, masih ada tantangan yang dulu itu ada. Pertama, disparitas harga antara biaya etanol sama harga BBM. Masalahnya masih ada terus sampai hari ini,” jelasnya.
Kendala kedua yakni terkait pasokan bahan baku. Menurutnya, pemerintah perlu memastikan bahwa bahan baku harus selalu tersedia.
“Kalau kita lihat konsumsi setahun Pertamax itu mencapai 15 juta kiloliter. Kalau mau disubstitusi lima persen, itu jumlahnya cukup besar. Apalagi kalau nanti tidak hanya Pertamax, tapi juga produk gasolin lain. Atau produk bensin lainnya, itu memang harus ditambah pasokannya. Ini yang menjadi tantangan karena persoalan dulu juga begitu, soal kepastian pasokan. Ini yang menurut saya perlu dibereskan,” tuturnya.
Tantangan selanjutnya, kata Fabby, terkait tata niaga etanol ini sendiri. Bioetanol seharusnya tidak dikenakan cukai, karena merupakan produk bahan bakar.
Ia menilai, program tersebut juga bisa diarahkan untuk meningkatkan produktivitas pertanian di Tanah Air, khususnya tanaman yang bisa memproduksi etanol. Fabby juga menyarankan kepada pemerintah untuk melakukan diversifikasi bahan baku untuk bioetanol tersebut, jangan bergantung kepada sumber pangan saja.
“Misalnya kalau kita bicara jagung, tebu yang memang bisa dipakai buat etanol itu mahal karena jadi sumber pangan. Mungkin tanaman yang tidak menjadi sumber pangan misalkan sorghum dan lain-lain. Semakin banyak varietas untuk pengembangan etanol semakin bagus,” jelasnya.
“Kita juga harus pastikan karena ini adalah produk pertanian kita harus pastikan bahwa carbon footprint-nya rendah, karena dia akan mensubstitusi BBM. Jadi untuk mendapatkan manfaat lingkungan yakni penurunan gas emisi rumah kaca maka perlu agar gas emisi rumah kaca terus diperhatikan,” pungkas Fabby. [gi/ab]
Forum