Tautan-tautan Akses

Perundung Siber di Korea Selatan Dorong Korban Hingga Bunuh Diri


Seorang pria berjalan melewati di samping tanda Cyber Terror Response Center di National Police Agency di Seoul, Korea Selatan, Kamis, 21 Maret 2013. (Foto: AP/Lee Jin-man)
Seorang pria berjalan melewati di samping tanda Cyber Terror Response Center di National Police Agency di Seoul, Korea Selatan, Kamis, 21 Maret 2013. (Foto: AP/Lee Jin-man)

“Feminis pembenci pria,” “sakit mental,” “menggilingnya menjadi makanan anjing” adalah semburan pelecehan yang dihadapi aktivis Kim Ju-hee dari jari-jemari para perundung siber (cyberbullies) di Korea Selatan. Bullying di dunia maya itu mendorong semakin banyak korban mereka memutuskan bunuh diri.

Dari bintang K-Pop terkenal seperti Sulli hingga tokoh yang kurang dikenal seperti atlet bola voli yang mengakhiri nyawanya awal bulan ini, krisis perundungan di dunia maya Korea Selatan semakin merebak, sementara para korban tidak punya jalan keluar, kata para aktivis.

Di negara itu, di mana seksisme amat mengakar, kandidat presiden unggulan bisa dengan bebas mencemooh gerakan feminisme, unggahan-unggahan bernada misoginis seringkali dijumpai di forum-forum seperti Reddit, para cyberbullies pun memiliki kekuatan untuk menghancurkan hidup banyak orang, tanpa menghadapi sanksi berat.

Logo YouTube terlihat di YouTube Space LA di Playa Del Rey, Los Angeles, California, Amerika Serikat 21 Oktober 2015. (Foto: Reuters)
Logo YouTube terlihat di YouTube Space LA di Playa Del Rey, Los Angeles, California, Amerika Serikat 21 Oktober 2015. (Foto: Reuters)

YouTube adalah platform utama serangan semacam itu. Sebuah video berisi perundungan terhadap Kim disaksikan ratusan ribu kali dan dikomentari ribuan kali oleh para pengguna YouTube, termasuk ancaman pembunuhan dengan kekerasan.

“Saya selalu merasa tidak aman,” kata Kim, yang bekerja sebagai seorang perawat, kepada AFP.

“Saya rasa ini tidak akan pernah berakhir kecuali saya mengakhiri hidup dan menghilang.”

Awal bulan ini, atlet bola voli Korea Selatan Kim In-hyeok bunuh diri setelah diejek secara brutal secara online. Ia didera rentetan komentar kebencian dan desas-desus bahwa ia seorang gay.

Januari lalu, YouTuber BJ Jammi mengakhiri nyawanya setelah mengalami perundungan di dunia maya dengan cemoohan “feminis pembenci pria” selama bertahun-tahun.

Sang paman menyalahkan peristiwa nahas itu pada “depresi parah yang disebabkan oleh komentar dan rumor jahat”, seperti tertulis pada akun Twitch BJ Jammi, yang mengumumkan kematiannya.

Ibu Jammi juga melakukan bunuh diri pada 2019 – peristiwa yang disebut Jammi disebabkan oleh perundungan siber. Dalam salah satu siaran langsung Twitch-nya, Jammi mengaku berjuang merawat kesehatan mentalnya.

“Kalian yang suka berkomentar jahat padaku, apakah rasanya menyenangkan membuat saya menderita dan menghancurkan hidup saya,” katanya sambil menahan air mata dalam sebuah siaran langsung pada 2020.

Seorang pria berjalan melewati papan nama di Cyber Terror Response Center Badan Kepolisian Nasional di Seoul, Korea Selatan, 16 Juli 2013. (Foto: AP)
Seorang pria berjalan melewati papan nama di Cyber Terror Response Center Badan Kepolisian Nasional di Seoul, Korea Selatan, 16 Juli 2013. (Foto: AP)

Menguntungkan

Akun-akun YouTube anti-feminis di Korea Selatan, di mana beberapa di antaranya diikuti ratusan ribu akun, mengambil untung dari pelecehan yang dilakukan, kata para pakar.

“YouTuber terkenal mendapat lebih banyak perhatian dengan cara mengunggah video-video yang mencela feminisme dan para feminis,” kata Jinsook Kim, peneliti posdoktoral di University of Pennsylvania.

Perempuan atau kelompok minoritas di ruang publik sangat rentan terhadap serangan perundung, kata para pakar, dan kurangnya undang-undang anti-diskriminasi Korea Selatan membuat para korban amat terekspos.

“Mereka tidak hanya disasar dan diserang secara acak,” tapi sengaja ditarget dan dituduh sebagai “feminis atau gay,” kata Jinsook Kim, merujuk pada kasus yang menimpa atlet bola voli Kim In-hyeok dan BJ Jammi.

Perempuan-perempuan lain yang ada di ranah publik juga mengalami doxing, di mana data pribadi mereka disebarluaskan di dunia maya oleh YouTuber laki-laki yang menuduh mereka sebagai “misandrist” atau pembenci pria.

Beberapa YouTuber bahkan bersiaran secara langsung sambil melacak korban mereka dan mengeluarkan ancaman-ancaman perkosaan dan kematian, sementara konten kebencian itu mendapat semakin banyak klik dan pendapatan iklan.

“Mereka terus memproduksi konten sensasional dan penuh kebencian demi keuntungan,” kata Jinsook Kim kepada AFP.

Hanya terdapat sedikit kasus pidana yang berhasil menyeret para perundung online yang melancarkan serangan di dunia maya.

Korea Selatan sendiri merupakan negara yang amat terhubung dalam dunia maya dengan kecepatan internet rata-rata paling tinggi di dunia, di mana selebriti perempuan menderita serangan online selama berpuluh-puluh tahun.

Seorang penyelidik yang memasuki Pusat Respons Teror Dunia Maya dari Badan Kepolisian Nasional Korea terpantul di jendela di Seoul 21 Maret 2013. (Foto: Reuters)
Seorang penyelidik yang memasuki Pusat Respons Teror Dunia Maya dari Badan Kepolisian Nasional Korea terpantul di jendela di Seoul 21 Maret 2013. (Foto: Reuters)

Pada tahun 2008, aktris kenamaan Choi Jin-sil mengakhiri nyawanya setelah menderita perundungan siber yang menuduhnya bekerja sebagai seorang lintah darat.

Pada 2019, bintang K-Pop Goo Hara bunuh diri setelah menjadi korban ancaman “revenge porn” oleh mantan kekasihnya sendiri. Sahabat dan rekan sesame penyanyinya, Sulli, juga mengakhiri hidupnya sendiri setelah serangan online yang menuduhnya berbagai hal, termasuk tidak memakai bra.

Tidak Ada Bantuan untuk Korban

Kasus bunuh diri tokoh-tokoh terkenal setelah mengalami cyberbullying biasanya memicu ketegangan nasional dan petisi ke Gedung Biru – kantor presiden Korea Selatan – untuk menyerukan perubahan, namun tidak banyak tindakan yang diambil untuk mewujudkannya.

Dikenal sebagai masyarakat yang kompetitif dengan tekanan tinggi, Korea Selatan memiliki tingkat bunuh diri tertinggi di kalangan negara maju, dan pembunuhan karakter di dunia maya pun dapat sangat merusak.

Siapa pun yang “dianggap berbeda dari norma” yang berlaku berisiko mengalami perundungan siber, kata jurnalis lepas dan komentator online asal Seoul, Raphael Rashid, kepada AFP. Menurutnya, sulit untuk bangkit dari serangan itu.

Para korban cyberbullying merasa “mereka tidak punya tempat untuk melarikan diri” setelah profil mereka dihancurkan di muka umum dan merasa bahwa “masyarakat tidak bisa mentolerir keberadaan mereka,” ungkapnya.

Aktivis Kim mengatakan bahwa doxing dan serangan siber membuatnya terpikir untuk bunuh diri. “Rasanya seperti seluruh dunia memusuhi Anda,” ungkapnya kepada AFP.

Kecuali hukum dan pemidanaan para perundung siber ditegakkan, semakin banyak kasus bunuh diri akan terjadi, ujarnya. Untuk sementara, “cyberbullying hanya berhenti ketika korban mati.” [rd/rs]

Recommended

XS
SM
MD
LG