Perusahaan-perusahaan multinasional yang berbisnis dengan militer Myamar sejauh ini mengabaikan seruan para aktivis untuk memutuskan hubungan bisnis itu, meskipun ada upaya terus menerus untuk menuntut para jenderal senior di negara itu atas tuduhan genosida.
Bahkan perusahaan-perusahaan dengan nama besar, seperti Western Union yang reputasinya rusak setelah munculnya kemarahan atas pembantaian massal di negara bagian Rakhine pada tahun 2017, masih menjalin hubungan dengan mitra-mitra bisnis yang dimiliki militer.
Tetapi sekarang ini para investigator PBB meningkatkan tekanan, menyerukan agar militer negara itu dikucilkan sepenuhnya dan berjanji akan menyelidiki sumber-sumber dananya sambil mendorong negara-negara lain untuk memberlakukan sanksi-sanksi lanjutan.
Marzuki Darusman, ketua misi pencari fakta PBB yang menyelidiki kekerasan tahun 2017, mengatakan, pengucilan militer diperlukan karena para pemimpin Myanmar bertindak sedikit sekali untuk mengatasi pelanggaran HAM yang meluas di berbagai penjuru negara itu.
“Situasinya buntu sama sekali,” kata Marzuki pada akhir lawatan 10 harinya yang mencakup juga kunjungan ke Bangladesh, di mana ratusan ribu warga Rohingya berlindung setelah melarikan diri dari pembunuhan dan persekusi di Myanmar.
Misi pencari fakta kini berusaha mendapatkan informasi lebih banyak mengenai bisnis militer dengan harapan dapat membantu negara-negara lain menghantam para jenderal yang terlibat bisnis itu.
Akhir tahun lalu, Burma Campaign UK menerbitkan daftar 49 perusahaan asing yang disebutnya berbisnis dengan militer atau terlibat dalam pelanggaran HAM di Myanmar.
Militer diyakini mendapat dana dalam jumlah besar dari dua Konglomerat lokal, Myanmar Economic Corporation (MEC) dan Union of Myanmar Economic Holdings (UMEH). [uh]