Sejak Selasa pagi (16/10), sekitar 500 petani dari berbagai wilayah di tanah air mendatangi gedung Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan serta Kementerian Kelautan dan Perikanan di Jakarta, meminta pemerintah berpihak kepada para petani lokal, mulai dari kepemilikan tanah dan menghapus kebijakan impor.
Sudarmin Paliba, petani kelapa sawit dari Buol, Sulawesi Tengah, berharap pemerintah ikut merasakan kondisi para petani yang memprihatinkan di Buol dan di daerah-daerah lain.
“Bagian dari kelangkaan pangan itu adalah adanya eksploitasi tanah yang dimiliki oleh para petani. [Tanah] itulah yang digusur, sekarang suplai pangan itu di daerah Buol itu justeru dari daerah lain,” ujar Sudarmin.
Jito Sutarno dari Indramayu mengatakan, meski ada berbagai subsidi dari pemerintah untuk petani, kenyataannya program tersebut tidak berjalan dengan baik sehingga petani harus mengeluarkan biaya tinggi untuk modal awal menanam hingga panen.
Ia berharap pemerintah juga mengawasi proses pemberian subsidi karena ada pihak-pihak tidak bertanggungjawab yang menyalahgunakan program subsidi untuk petani.
“Pemerintah kan menganjurkan subsidi ke pupuk, benih juga ada tapi kenyataan di lapangan itu tidak jalan, tidak sampai. Jadi kalau ada impor dari luar kami tidak setuju,” ujarnya.
Hal senada juga disampaikan Njang Surana, petani buah-buahan dari Sukabumi, yang mengatakan bahkan rata-rata para petani di daerahnya tidak memiliki tanah sehingga keuntungan harus dibagi dengan pemilik tanah.
Pendapatan Sudarmin Paliba, Jito Sutarno dan Njang Surana dari hasil panen mereka sekitar Rp 700 ribu hingga Rp 1 juta per bulan. Namun jika mengalami gagal panen selain keuntungan yang tidak bisa mereka dapat, mereka juga masih harus membayar utang ke rentenir.
Sementara dalam anggaran negara tahun ini subsidi untuk pupuk dan benih sebesar Rp 17 triliun dan pemerintah akan menaikkannya tahun depan menjadi sebesar Rp 19 triliun.
Sudarmin Paliba, petani kelapa sawit dari Buol, Sulawesi Tengah, berharap pemerintah ikut merasakan kondisi para petani yang memprihatinkan di Buol dan di daerah-daerah lain.
“Bagian dari kelangkaan pangan itu adalah adanya eksploitasi tanah yang dimiliki oleh para petani. [Tanah] itulah yang digusur, sekarang suplai pangan itu di daerah Buol itu justeru dari daerah lain,” ujar Sudarmin.
Jito Sutarno dari Indramayu mengatakan, meski ada berbagai subsidi dari pemerintah untuk petani, kenyataannya program tersebut tidak berjalan dengan baik sehingga petani harus mengeluarkan biaya tinggi untuk modal awal menanam hingga panen.
Ia berharap pemerintah juga mengawasi proses pemberian subsidi karena ada pihak-pihak tidak bertanggungjawab yang menyalahgunakan program subsidi untuk petani.
“Pemerintah kan menganjurkan subsidi ke pupuk, benih juga ada tapi kenyataan di lapangan itu tidak jalan, tidak sampai. Jadi kalau ada impor dari luar kami tidak setuju,” ujarnya.
Hal senada juga disampaikan Njang Surana, petani buah-buahan dari Sukabumi, yang mengatakan bahkan rata-rata para petani di daerahnya tidak memiliki tanah sehingga keuntungan harus dibagi dengan pemilik tanah.
Pendapatan Sudarmin Paliba, Jito Sutarno dan Njang Surana dari hasil panen mereka sekitar Rp 700 ribu hingga Rp 1 juta per bulan. Namun jika mengalami gagal panen selain keuntungan yang tidak bisa mereka dapat, mereka juga masih harus membayar utang ke rentenir.
Sementara dalam anggaran negara tahun ini subsidi untuk pupuk dan benih sebesar Rp 17 triliun dan pemerintah akan menaikkannya tahun depan menjadi sebesar Rp 19 triliun.