Cita-cita menyelenggarakan pemilihan kepala daerah nasional secara serentak akhirnya terwujud. Untuk pertama kalinya, pemilih di 545 daerah memilih calon pemimpin daerah secara bersamaan pada Rabu (27/11).
Meskipun berlangsung aman dan tertib, peneliti di Saiful Mujani Research and consulting (SMRC), Saidiman Ahmad, menilai kualitas demokrasi pada Pilkada serentak yang dilangsungkan untuk memilih 37 gubernur, 93 wali kota dan 415 bupati di seluruh wilayah Indonesia bermasalah. Pasalnya muncul kecenderungan di antara partai-partai politik untuk berkoalisi, dan enggan berkompetisi sehat terutama di daerah-daerah strategis seperti Jakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat.
Jika melihat hasil hitung cepat berbagai lembaga survei, tambahnya, hampir semua koalisi besar akhirnya memenangkan pertarungan di daerah, mulai dari Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat. Perolehan di Jakarta masih menunggu selesainya seluruh proses penghitungan suara karena selisih suara yang sangat tipis antara pasangan Ridwan Kamil-Suswono dan pasangan Pramono Anung-Rano Karno.
Saidiman mensyukuri keputusan Mahkamah Konstitusi beberapa waktu lalu yang menurunkan ambang batas pencalonan kepala daerah, yang memungkinkan PDI-Perjuangan mendukung sendiri calonnya di daerah-daerah strategis.
“Walaupun hampir di semua tempat dimenangkan oleh koalisi besar tapi saya melihat juga ada perlawnan sebenarnya. Misalnya Jawa Tengah, walaupun Pak Andika kalah tapi lumayan dapat 40-an persen perlawanannya, terutama jika kita lihat koalisi besar di sana menguasai kursi DPRD Jawa Tengah. Sementara PDI Perjuangan yang mengusung Andika hanya sekitar 28 persen. Di Jawa Timur, koalisinya Khofifah sekitar 60 persen, sementara calon PDI Perjuangan di sana sekitar 17-18 persen. Tapi suaranya Bu Risma lumayan juga sekitar 30-an persen. Walaupun kalah, setidaknya ada perlawanan untuk koalisi besar,” ujarnya saat diwawancarai VOA Rabu malam.
Lebih jauh ia memaparkan bahwa sejak lima tahun terakhir mantan Presiden Joko Widodo berusaha merangkul semua pihak, termasuk mengajak pesaingnya dalam pilpres 2019, Prabowo Subianto, ke dalam kabinet. Jokowi juga merangkul Partai Demokrat. Walhasil satu-satunya partai yang berada di luar pemerintahan hanya Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
“Demokrasi kita turun karena melemhnya chekcs and balances, karena kurangnya partai di luar pemerintahan yang pengintrol. Kecenderungan sekarang semua partai ingin masuk ke pemerintahan Prabowo. Bahkan di pilkada-pilkada seperti diatur di awal dalam koalisi besar. Itu mengurangi hakikat demokrasi,” tambahnya.
Quick Count Belum Bisa Prediksi Pemenang di DKI Jakarta
Saat hampir semua daerah strategis dimenangkan oleh calon yang diusung KIM Plus, situasi anomali terjadi di DKI Jakarta.
Hasil hitung cepat (quick count) dan exit poll Survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) untuk Pilkada DKI Jakarta pada Rabu pukul 18.16 WIB mencatat pasangan Pramono Anung-Rano Karno, unggul sementara dengan 51,01 persen suara. Disusul Ridwan Kamil-Suswono dengan 38,83 persen; dan Dharma Pongrekun-Kun dengan 10,16 persen.
Sementara hasil hitung cepat Charta Politica pada pukul 18.14 WIB menunjukkan pasangan Pramono Anung-Rano Karno, unggul sementara dengan 50,15 persen suara. Disusul Ridwan Kamil-Suswono dengan 39,25 persen; dan Dharma Pongrekun-Kun dengan 10,60 persen.
Hasil hitung cepat Lembaga Survei Indonesia (LSI) menunjukkan pasangan Pramono Anung-Rano Karno, unggul sementara dengan 50,10 persen suara. Disusul Ridwan Kamil-Suswono dengan 39,29 persen; dan Dharma Pongrekun-Kun dengan 10,61 persen.
Hasil yang kurang lebih sama ditunjukkan dalam hitung cepat lembaga survei Voxpol Center yang menunjukkan pasangan Pramono Anung-Rano Karno, unggul sementara dengan 50,10 persen suara. Disusul Ridwan Kamil-Suswono dengan 39,33 persen; dan Dharma Pongrekun-Kun dengan 10,56 persen.
Selisih suara yang tipis ini membuat lembaga-lembaga survei yang melakukan hitung cepat dan exit poll belum dapat memastikan kemenangan salah satu pasangan di Jakarta, dan meminta publik menunggu hasil resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai acuan final.
Mengapa Calon KIM Plus di Jakarta Tak Raih Suara Mayoritas?
Lepas dari selisih suara yang tipis ini, pengamat politik di Badan Riset dan Inovasi Nasional Lili Romli menelaah “kekalahan” Ridwan Kamil-Suswono meskipun sudah didukung KIM Plus.
“Meskipun koalisi KIM Plus itu banyak yang mendukung RK-Suswono, tapi yang terjadi adalah partai-partai politik yang tergabung dalam KIm Plus itu nggak berjalan mesin politiknya. Didibiarkan sendiri berjalan RK-Suswono. Sisi lain adalah figurnya ini kontraproduktif di dalam kampanye-kampanyenya. Sebelumnya ada resistensi akibat cuitan masa lalu RK yang membuat warga Jakarta menolak kehadiran RK itu,” ujarnya.
Lili menggarisbawahi besarnya penolakan dari partai dan warga Jakarta terhadap Ridwan Kamil karena alasan yang sederhana, yaitu bahwa ia bukan warga Jakarta.
Lili mencontohkan Partai Golkar yang sebagian kadernya tidak menghendaki Ridwan Kamil maju di Jakarta, tetapi di Jawa Barat yang memang elektabilitasnya lebih tinggi.
Sementara pasangan Pramono Anung-Rano Karno bisa melaju karena figur keduanya dan mesin politik yang mendukungnya berjalan beriringan. Terlebih setelah mendapat limpahan dukungan dari Anies Baswedan dan Ahok.
KPU baru akan mengumumkan secara resmi hasil penghitungan suara seluruh daerah pada 16 Desember mendatang. [fw/em]
Forum