Pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) terapung China yang ditempatkan di Laut China Selatan akan membantu Beijing memperkuat klaimnya dalam sengketa kedaulatan maritim yang telah berlangsung puluhan tahun. Tetapi ini juga disertai risiko terhadap lingkungan, kata para cendekiawan.
China berencana menyediakan energi nuklir bagi sejumlah pulau kecil yang diklaimnya. Hal ini disampaikan Departemen Pertahanan Amerika kepada Kongres dalam laporan tahunannya mengenai aktivitas militer China. Beijing telah mengindikasikan tahun lalu mengenai rencananya untuk memasang “stasiun pembangkit listrik tenaga nuklir terapung” yang akan mulai beroperasi sebelum tahun 2020, sebut laporan itu.
Perkembangan ini akan memperkokoh klaim maritim China setelah reklamasi lahan selama sekitar satu dekade di beberapa bagian dari laut seluas 3,5 juta kilometer persegi dan pengiriman unit-unit militer ke beberapa pulau buatan itu, kata para analis. Negara-negara pengklaim lainnya, Brunei, Malaysia, Filipina, Taiwan dan Vietnam, tidak memiliki cara serupa untuk menyediakan listrik bagi wilayah yang mereka klaim.
Collin Koh, peneliti keamanan maritim di Nanyang Technological University di Singapura mengatakan, penempatan PLTN terapung itu benar-benar memfasilitasi peningkatan kontrol fisik di Laut China Selatan.
Beijing mengklaim sekitar 90 persen Laut China Selatan yang juga diklaim oleh lima negara lainnya. Kawasan laut ini dinilai berharga karena kaya hasil laut, minyak dan gas serta sebagai jalur pelayaran yang strategis.
Koh menyatakan China kemungkinan besar tidak melakukan studi dampak lingkungan sebelum menempatkan tongkang-tongkang PLTN-nya. Reaktor yang lepas kendali dapat menyebabkan bencana besar bagi lingkungan hidup. Departemen Pertahanan Amerika mencatat bahwa kawasan laut itu rawan dilanda topan.
Andrew Yang, sekjen lembaga kajian Chinese Council of Advanced Policy Studies, mengatakan perompak dan teroris di laut juga dapat mengganggu tongkang PLTN tersebut. [uh]