Perdana Menteri Israel Naftali Bennett terbang ke Uni Emirat Arab pada hari Minggu (12/12) dan akan menemui pemimpin de facto negara teluk itu dalam kunjungan kenegaraan tertinggi sejak kedua negara meresmikan hubungan mereka tahun lalu.
Perjalanan itu dilakukan di tengah ketegangan regional yang meningkat, ketika kekuatan dunia mencoba memperbarui kesepakatan nuklir dengan Iran. Israel dan beberapa negara teluk Arab juga prihatin atas aktivitas Iran di kawasan.
“Saya akan berangkat ke Uni Emirat Arab dalam kunjungan resmi pertama yang pernah dilakukan perdana menteri Israel. Saya akan bertemu dengan Putra Mahkota Sheikh Mohammed bin Zayed. Kami akan mendiskusikan cara untuk memajukan kerja sama kami di sejumlah bidang, terutama memperkuat hubungan ekonomi dan perdagangan kami,” ungkap Bennett sesaat sebelum lepas landas menuju UEA.
“Hanya dalam satu tahun sejak normalisasi hubungan kami, kami telah melihat potensi luar biasa dari kemitraan Israel-UEA. Dan ini baru permulaan.”
Belum ada konfirmasi langsung dari Abu Dhabi.
UEA bersama Bahrain, Sudan dan Maroko menormalisasi hubungan mereka dengan Israel di bawah inisiatif yang disponsori AS yang dijuluki “Perjanjian Abraham” – mengacu pada sosok yang dihormati oleh umat Yahudi, Kristen dan Muslim.
Kunjungan Bennet akan menjadi kunjungan pertama perdana menteri Israel ke manapun dari keempat negara itu. Perjalanan yang direncanakan oleh pendahulu Bennet sekaligus penandatangan Perjanjian Abraham, Benjamin Netanyahu, dibatalkan dengan alasan pembatasan perjalanan Israel akibat COVID-19 dan sulitnya pengaturan penerbangan di atas wilayah Yordania.
Bennet akan menemui Putra Mahkota Sheikh Mohammed bin Zayed hari Senin, menurut kantor perdana menteri Israel.
Pemulihan hubungan itu dikutuk oleh warga Palestina, yang diplomasinya dengan Israel terhenti pada 2014.
Kunjungan Bennet “melanggar konsensus Arab yang seharusnya mendukung perjuangan Palestina di tengah tantangan yang dipaksakan oleh pendudukan (Israel),” kata Wasel Abu Youssef dari Organisasi Pembebasan Palestina kepada Reuters.
Surat Kabar Israel Hayom melaporkan hari Minggu (12/12) bahwa Israel telah menolak untuk menjual pertahanan rudal ke UEA karena hubungannya dengan Iran. Permintaan peninjauan ulang keputusan itu dapat dilakukan sekarang, kata laporan itu, mengindikasikan bahwa kesepakatan penjualan dapat membantu menjauhkan UEA dari Teheran.
Pejabat Israel maupun UEA tidak segera memberikan tanggapan atas laporan itu.
Pemerintah Bennett minggu ini akan memutuskan apakah akan mengizinkan terciptanya kontrak swasta Israel-Emirat untuk membongkar muatan minyak Teluk di pelabuhan Laut Merah Eliat – kontrak yang telah disengketakan di Mahkamah Agung Israel oleh para pecinta lingkungan sekaligus ditentang Menteri Energi Israel. [rd/jm]