Sejumlah penemuan produk obat keras ilegal di berbagai kota menuntun polisi menemukan pabriknya di Yogyakarta. Beroperasi sejak 2018, pabrik ini mampu memproduksi 240 juta butir obat sebulan. Bahan bakunya berasal dari Cina.
Operasi dengan sandi Anti Pil Koplo 2021 ini dimulai pada 6 September 2021 lalu. Dalam waktu sepekan, polisi menemukan sindikat perdagangan obat keras ilegal di sejumlah wilayah di Jawa Barat dan Jakarta. Hal itu dipaparkan Direktur Tindak Pidana Narkoba, Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri, Brigjen Pol Krisno Halomoan Siregar, di Yogyakarta, Senin (27/9).
“Kasus ini diawali dari pengungkapan teman-teman, lalu kami analisa. Kami berhasil menyita lebih kurang 5 juta butir berbagai jenis obat keras dan psikotropika di jaringan yang kami sita awalnya. Semua kami analisa, dan kami mendapatkan petunjuk bahwa pengiriman dari Yogya,” kata Krisno.
Paparan hasil operasi itu memang dilakukan Krisno dari sebuah pabrik sekaligus gudang di sisi barat kota Yogyakarta. Berbekal penyitaan 5 juta butir obat di Jakarta dan Jawa Barat, polisi bergerak menuju pabrik ini. Tim Ditipidnarkoba Bareskrim Polri dan tim dari Polda DIY masuk ke pabrik itu pada 21 September 2021 menjelang tengah malam. Di sanalah polisi menemukan skala produksi obat begitu besar. Mesin produksi obat, berbagai jenis bahan kimia atau prekursor obat dan aneka jenis obat keras seperti Hexymer, Trihex, DMP, double L, IRGAPHAN 200 mg kemudian diamankan.
“Berdasarkan pengalaman, kami dapat menyimpulkan bahwa ini yang terbesar (di Indonesia), mesinnya maupun luas tempatnya,” kata Krisno. Di pabrik ini, polisi juga menyita lebih dari 30 juta butir obat keras yang sudah dikemas menjadi 1.200 koli paket dus, tujuh mesin cetak pil, lima mesin oven obat, dan berbagai mesin lain. Polisi juga menemukan bahan prekusor antara lain, Polivinill Pirolidon (PVP), Microcrystalline Cellulose (MCC), Sodium Starch Glycolate (SSG), Polyoxyethylene Glycol 6000 (PEG), Dextromethorphan hingga Trihexyphenidyl, masing-masing dengan berat mulai belasan kilogram sampai ratusan kilogram.
Krisno juga mengatakan, bahan-bahan kimia ini ini berasal dari China. Namun, sejauh ini polisi belum menemukan keterlibatan warga negara asing dalam proses produksi ini. Sebanyak 13 orang telah ditangkap dalam operasi tersebut, dan polisi terus melakukan pengembangan kasusnya. Dari operasi sejak awal September ini, polisi mengumpulkan lebih dari 35 juta butir obat keras sebagai barang bukti.
Namun, ada miliaran butir lainnya yang sudah beredar di masyarakat sejak pabrik ini mulai beroperasi tiga tahun lalu.Obat keras adalah obat yang hanya dapat dibeli di apotik dengan menggunakan resep dari dokter. Produk ini memiliki tanda kenal lingkaran berwarna merah, dengan huruf K berwarna hitam di dalamnya.
Kepala Balai Besar POM di Yogyakarta, Dewi Prawitasari juga mengakui, bahwa pabrik obat keras di Yogyakarta ini skala produksinya besar sekali. “Memang industri ini tidak hanya besar tetapi besar sekali, karena produksinya juga luar biasa jumlahnya. Kemudian dari bahan baku, bahan penolong maupun mesin-mesin yang digunakan untuk produksi,” kata Dewi.
Dewi juga memastikan, sejumlah merek obat yang diproduksi sudah tidak memiliki ijin edar lagi. Selain itu ada juga yang kemasan besarnya tidak dikeluarkan karena rawan penyalahgunaan. Obat keras sendiri, diduga diproduksi untuk pengguna yang justru memanfaatkan efek sampingnya. Jika dikonsumsi dalam jumlah tertentu, obat-obat ini memberikan dampak seperti tidur berkepanjangan, menghilangkan stres, hingga efek relaksasi.
“Penyalahgunaan juga menyebabkan efeknya euforia, senang, stimulan. Kalau kita berhenti minum, bisa gangguan tidur, jadi minum lagi, rileks lagi, euforia lagi. Terus menerus seperti itu, yang diinginkan oleh pengguna yang menyalahgunakan obat ini,” lanjuta Dewi.
Gangguan lain yang dimungkinkan oleh obat keras ini adalah depresi, sulit berkonsentrasi, mudah marah, gangguan koordinasi seperti kesulitan berjalan atau berbicara, kejang-kejang, cemas dan berhalusinasi.
Selain ditemukan di berbagai wilayah di Jawa, peredaran obat keras ilegal ini juga merambah Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur. Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri, Komjen Agus Andrianto bahkan menyebut, jangkauannya mungkin sudah di seluruh wilayah Indonesia.
“Di tengah pandemi COVID-19, bukan hanya dampak kesehatan yang dirasakan masyarakat, namun juga dampak penyerta lainnya. Tentunya peredaran obat ini kemungkinan justru akan menimbulkan gangguan kesehatan kepada masyarakat,” ujar Komjen Agus.
Dengan penangkapan belasan pelaku dan memahami garis distribusinya, Komjen Agus menyatakan polisi akan mengembangkan kasus ini lebih lanjut.
“Nanti akan kita upayakan untuk membuka transaksi dan komunikasi yang mereka lakukan, sehingga jaringan peredaran obat-obat keras ini dapat kita tanggulangi dengan baik,” lanjutnya. [ns/lt]