Meja resepsionis terbalik, sejumlah kaca dan pot tanaman pecah, kursi-kursi ruang tunggu pun terbalik. Ruang depan gedung Pengadilan Negeri Bantul.Kamis (28/6/2018), siang sempat mencekam karena aksi perusakan oleh anggota Ormas Pemuda Pancasila (PP). Mereka tidak terima, pemimpinnya dijatuhi hukuman dalam kasus persekusi.
Tim Jaksa dalam kasus ini segera dievakuasi oleh polisi untuk mencegah tindakan anarkis lanjutan. Polisi pun bergerak cepat, dalam waktu beberapa jam, tiga pelaku perusakan ditangkap di rumah masing-masing.
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda DIY, Kombes Pol Hadi Utomo, Jumat (29/6/2018) siang mengatakan, ketiga pelaku dikenakan pasal 170 KUHP dengan ancaman hukuman 5 tahun penjara.
“Pelaku yang kita amankan, itu disuruh. Berarti ada yang menyuruh. Kalimat suruhannya, itu jadi ranah penyidikan. Peristwa ini dilakukan oleh tiga orang dan ada yang menyuruh, maka terhadap pelaku yang sekarang kita terapkan yang melakukan. Nanti berdasar alat bukti yang ada, kita tangkap yang menyuruh melakukan,” Kata Hadi Utomo.
Hadi menyebut, kasus ini cukup istimewa karena dilakukan di gedung pengadilan, di mana masyarakat mencari keadilan. Dia menyayangkan reaksi anggota ormas itu atas putusan hakim, yang justru melanggar hukum.
Polisi saat ini sedang menyidik pelaku keempat, dan kemungkinan akan menambah jumlah tersangka.
Kasus ini bermula dari ditetapkannya Ketua Pemuda Pancasila Kabupaten Bantul, Yogyakarta, Doni Bimo Saptoto, sebagai tersangka kasus persekusi. Dia dan sejumlah anggota ormasnya, memaksa penghentian rangkaian kegiatan peringatan Hari Pers Internasional di Pusat Studi HAM Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta pada 8 Mei 2017 lalu.
Tidak terima dengan tindakan ormas tersebut, Pusham UII melaporkan pelaku kepada polisi. Eko Riyadi, Direktur Pusham UII, sebelumnya dalam persidangan menyatakan bahwa terdakwa Doni dan kawan-kawannya membongkar pameran yang telah disiapkan di kantornya. Mereka memaksa staf lembaga itu, menghentikan seluruh kegiatan terkait hari Pers Internasional.
Sekitar 30 poster dan lukisan karya seniman Andreas Iswinarto ditampilkan dalam pameran. Secara khusus, kegiatan ini juga memberi perhatian pada hilangnya aktivis dan pekerja seni, Wiji Thukul.
“Ketika saya sampai di kantor, semua poster dan lukisan telah dilepas. Diskusi hari itu juga dihentikan. Padahal, rencana kegiatan akan berlangsung selama tiga hari, dengan diskusi penutup tentang penegakan HAM di Indonesia,” kata Eko Riyadi dalam persidangan pada Maret 2018 lalu.
Kepada wartawan,Kamis kemarin, Doni Bimo Saptoto memberikan klarifikasi. Merunut ke belakang, Doni menganggap kegiatan yang diselenggarakan oleh Pusham UII adalah ilegal. Sebagai anggota Pemuda Pancasila, dia merasa memiliki kewajiban menjaga ideologi Pancasila. Wiji Thukul adalah aktivis kiri, dan kegiatan untuk memperingati aktivitasnya dituduh diselenggarakan tanpa izin.
“Kegiatan itu berbau kiri. Siapa Wiji Thukul? Dia adalah tokoh PRD Solo tahun 1996, dan di tahun itu juga sudah ada perintah langsung Pangdam Jaya, Sutiyoso, ketika itu, untuk tembak mati kepada Wiji Thukul. Dia aktif di PRD, dan yang kita ketahui bersama saat ini bahwa PRD adalah komunis,” kata Doni Bimo Saptoto.
Doni menyayangkan keputusan hakim yang menurutnya diambil tanpa mempertimbangkan siapa Wiji Thukul, aktivitasnya terkait komunisme dan kegiatan Pusham UII yang ilegal.
“PP ini dinyatakan bersalah, saat saya menjaga NKRI, saya menjaga ideologi Pancasila dari ideologi komunis. Pertanyaan saya, berarti komunis sudah disahkan untuk muncul kembali. Ini bukan kekalahan saya, tetapi kekalahan negara ini. Kenapa paham yang jelas dilarang, Tap MPR-nya masih ada, kenapa malah dimenangkan,” lanjut Doni.
Doni sendiri menjadi terhukumdalam kasus persekusi pertama di Yogyakarta yang sampai ke pengadilan. Sejumlah kasus lain, seperti pelarangan diskusi, pemutaran film, pembubaran pertemuan organisasi tertentu, biasanya menguap di tengah jalan.
Ada sekitar 500 anggota Pemuda Pancasila, dan sejumlah kecil anggota ormas lain yang datang memberikan dukungan kepada Doni Bima dalam sidang putusan Kamis.
Humas PN Bantul, Zaenal Arifin menjelaskan, bahwa perusakan hanya terjadi pada barang, dan tidak ada kekerasan terhadap staf pengadilan. Pengadilan sendiri sebenarnya sudah mempersiapkan pengamanan cukup, tetapi tidak menduga insiden yang terjadi.
“Terdakwa dituntut enam bulan masa percobaan 10 bulan, kemudian diputus lima bulan dengan masa percobaan sembilan bulan. Hakim juga menyatakan, pidana itu tidak perlu dijalani kecuali jika dalam masa percobaan 9 bulan itu, dia melakukan tindak pidana serupa,” kata Zaenal Arifin.