Seperti dilaporkan, sekelompok massa menyerang beberapa warga dari keluarga Assegaf Al Jufri yang sedang menggelar serangkaian kegiatan adat dan agama midodareni atau malam menjelang pernikahan anaknya pada akhir pekan kemarin, Sabtu malam (8/8). Keluarga tersebut dituduh melakukan kegiatan terkait ajaran Syiah. Para pelaku mengepung lokasi, melukai tiga orang dan merusak sejumlah kendaraan yang terparkir di lokasi kejadian.
Dalam insiden tersebut, menurut polisi, ketiga korban mengalami luka pukul, luka lemparan benda tumpul, dan luka robek di bagian kepala. Ketiganya dirawat di rumah sakit.
Kepala Kepolisian Resor Kota (Kapolresta) Solo, Kombes Andy Rifai, mengatakan pada Senin (10/8) bahwa polisi terus mengumpulkan barang bukti dan keterangan dari para sembilan saksi, pelaku yang tertangkap, serta para korban kekerasan tersebut.
Dalam pengembangan kasus, Andy mengatakan polisi sudah mengidentifikasi para pelaku lain yang diduga terlibat dalam kekerasan intoleransi itu. Polisi juga memberi waktu kepada para pelaku tersebut untuk menyerahkan diri.
“Jika tak menyerah di batas waktu itu, kami akan gunakan penangkapan cara kami sendiri karena perbuatan mereka sudah jelas mencoreng kebhinekaan yang ada di negara ini,” ujar Andy.
Video yang berisi rekaman penyerangan dan perusakan itu sempat viral di media sosial. Belum diketahui motif dari puluhan orang yang mendatangi, menyerang, dan melukai ketiga orang tersebut. Kelompok tersebut juga meneriakkan ujaran kebencian dan ancaman.
Pada saat kejadian, Kapolresta Solo, Kombes Andy, dan anggota polisi lainnya yang mengevakuasi warga yang terkepung, juga sempat terkena pukulan dari para pelaku penyerangan. Brimob bersenjata lengkap kemudian mengamankan lokasi kejadian.
Memed, juru bicara keluarga Assegaf yang menjadi korban penyerangan kelompok intoleran di Solo, Senin (10/8) mengatakan kerabatnya masih menjalani perawatan di rumah sakit akibat pengeroyokan itu.
Pihak keluarga, ujar Memed, bekerja sama dengan penegak hukum untuk melawan tindak intoleransi. “Kasus kami mungkin menjadi awal, rumah keluarga kami hanya menjadi awal kasus di Solo. Tetapi siapa menjamin kasus intoleransi ini tidak terjadi di daerah lain. Ini bukan masalah sempit, ini masalah luas." Memed mengimbau agar insiden serupa tidak terulang di daerah lain.
Kekerasan yang terjadi di Solo juga menuai kritik dan kecaman berbagai pihak. Berbagai ormas keagamaan dan jaringan Gusdurian mengecam aksi kekerasan yang dilakukan kelompok intoleran tersebut. Dalam rilisnya, Minggu (9/8), jaringan Gusdurian menilai kasus intoleransi yang memakan korban luka tersebut mencederai rasa kemanusiaan.
Menurut organisasi yang dipimpin putri Gus Dur, yang selama ini mengusung sikap toleransi ini dan menjunjung tinggi keberagaman, ajaran Syiah termasuk mazhab teologi dalam Islam sejak dahulu. Di Indonesia, penganut Syiah menjadi minoritas dan kerap mendapat perlakuan diskriminatif. Organisasi ini mendesak aparat melakukan penegakan hukum pada para pelaku penyerangan. [ys/ft]