“Di dalam banyak kasus, suami-suami yang terjerumus dalam korupsi itu karena istrinya tidak baik. Banyak koruptor-koruptor itu, yang sekarang masuk penjara, karena tuntutan istrinya. Gajinya cuma Rp20 juta, belanjanya Rp50 juta. Gajinya cuma Rp2 juta, belanjanya Rp5 juta, yang dituntut dari suaminya. Suami tidak punya pekerjaan lain, terpaksa korupsi, ngutip sana, ngutip sini. Itu karena ibu-ibunya.”
Inilah petikan pernyataan calon wakil presiden nomor urut tiga, Mahfud MD, saat berbicara di sebuah acara di Kota Padang, Sumatera Barat, 17 Desember lalu, yang memicu kontroversi dan menimbulkan kemarahan sejumlah aktivis perempuan.
Upaya Mahfud MD mengklarifikasi hal itu di The Hermitage, Jakarta pada 22 Desember, tidak menyurutkan kemarahan mereka.
Budaya Stereotip
Mahfud bukan satu-satunya tokoh masyarakat yang mengeluarkan pernyataan yang kental bias gender seperti ini.
Sebelumnya beberapa tokoh lain, dan bahkan media, menjuluki Ketua Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P) Megawati Sukarnoputri sebagai sosok yang ambisius, keras, dan dominan karena ia menentang wacana perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode, atau berani berbeda pendapat di depan publik.
Dalam kasus indikasi campur tangan orang kuat dalam keputusan Mahkamah Agung yang mengubah aturan hukum tentang batas usia minimal seorang calon presiden dan wakil presiden, dan kemudian memuluskan jalan bagi putra Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka menjadi cawapres, kemarahan publik mengarah pada Ibu Negara Iriana. Sejumlah media secara terang-terangan menyebut Iriana sebagai dalang yang menggunakan berbagai cara untuk memuluskan langkah putranya.
Mendiang Kristiani Herrawati, atau akrab disapa sebagai Ibu Ani Yudhoyono, juga pernah disebut sebagai perempuan ambisius ketika mendorong pencalonan putranya, Agus Harimurti, sebagai calon presiden pada 2017.
Jika melihat era Orde Baru, Ibu Negara Tien Soeharto ketika itu juga kerap dituding sebagai sosok yang merancang berbagai keputusan, mulai dari proyek pembangunan Taman Mini Indonesia Indah, pemberlakuan PP Nomor 10/Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang disebut sebagai aturan anti-poligami, hingga penunjukkan dan pemberhentian pejabat.
Surat kabar The New York Times pada 25 Februari 1972 mempublikasikan laporan yang merujuk pada julukan Ibu Tien sebagai “Madam Ten Percent,” mengacu pada upeti yang harus diberikan agar sebuah proyek disetujui pemerintah.
Pada era Orde Lama, ada tekanan terhadap istri kelima presiden pertama Indonesia, Sukarno, Naoko Nemoto yang dikenal publik sebagai Dewi Sukarno, dan kerap menjadi sasaran utama demonstran. Ia diberi julukan yang bersifat merendahkan sebagai “Gundik Jepang.”
Meminimalkan Potensi Perempuan
Mantan Komisioner Komnas Perempuan Yuniyanti Chuzaifah menyesalkan banyaknya stereotip yang dilabelkan terhadap perempuan.
“Orang sibuk menempelkan berbagai stereotip pada perempuan. Berbagai konstruksi ini membuat perempuan-perempuan yang punya potensi justru dikandangkan, tidak diberi peran publik yang signifikan dan hanya diberi peran ornamental. Orang tidak tahu bahwa mereka memainkan peran penting. Saya ketika bertemu almarhumah Ibu Ani Yudhoyono, cukup surprise, ternyata beliau orang yang sangat cerdas, pemahaman akan isu lingkungannya cukup bagus, visioner. Dulu Ibu Tien Soeharto dengan PP-10 mencegah seluruh PNS untuk poligami. Prestasi-prestasi ini tidak dimunculkan. Yang muncul justru soal stereotip-stereotip itu," tuturnya.
Yuni juga mengkritisi kecaman terhadap Megawati Soekarputri.
“Sebagai tokoh perempuan yang menentang kediktatoran dan berani mendirikan partai yang kemudian menjadi besar. Lepas dari kritik terhadapnya, Megawati adalah tokoh perempuan yang harus diapresiasi karena sangat taat konstitusi. Ketika ada upaya untuk menambah masa jabatan presiden menjadi tiga periode, Megawati adalah tokoh yang berteriak paling keras, mengingatkan pentingnya kembali ke konstitusi yang membatasi masa jabatan presiden hanya untuk dua periode. Jika ingin melihat sisi positif beliau sebagai perempuan yang berani dan konsisten, hal ini malah tidak dimunculkan di publik. Yang muncul justru, wah, dia sangat dominan, dia berpotensi menguasai ini dan itu. Sementara kalau laki-laki dominan dan menguasai segala macam tidak menjadi masalah,"papar Yuni.
Gerakan Perempuan vs Konservatisme
Gerakan perempuan di Indonesia memang berkembang sangat pesat pasca reformasi 1998, namun aktivis dan penulis independen Julia Suryakusuma juga mengingatkan menguatnya konservatisme, yang tak jarang menggerus upaya memajukan perempuan.
“Sebenarnya ini sudah ada sejak dulu. Tidak saja dalam soal politik tapi juga keseharian. Ingat bagaimana jika ada suami yang menyeleweng, yang disalahkan istrinya karena dinilai tidak dapat menyenangkan suami. Jika ada anak yang nakal atau narkoba, yang disalahkan juga ibunya. Nah, saat ini karena persaingan lebih keras, jadi semua hal dijadikan bahan kritik dan peningkatan misogini semakin kuat. This is nothing new. Ini hanya soal kadar, derajat, yang lebih akut. Tidak berarti akan menurun karena konservatisme di seluruh dunia juga terus meningkat. Bahkan saya kaget ketika Anda mengatakan di Indonesia ini juga ada femisida," kata Julia.
Yuniyanti Chuzaifah, yang ikut mengupas laporan Komnas Perempuan tentang femisida di awal Desember lalu, menyebut tentang kasus pembunuhan Tetty Rumondang Harahap.
Tetty yang merupakan istri kedua Ahmad Yuda Siregar, menolak memberi uang Rp.50 miliar kepada suaminya untuk modal maju ke pemilihan kepala daerah di Batam, Kepulauan Riau. Kepalang berhasrat menjadi orang nomor satu di Batam, Ahmad Yuda membunuh Tetty dengan menusuk leher dan membakarnya pada November lalu. Pelaku kini dijerat dengan Pasal 340 KUHPidana dengan ancaman hukuman mati.
Yuniyanti Chuzaifah, yang lama makan asam garam di lapangan, semua tantangan ini harus dijawab oleh perempuan juga, berkelompok atau secara individual. Kita tidak boleh surut langkah, ujarnya.
“Untuk individu, kita punya Ibu Sinta Nuriyah yang meskipun memiliki keterbatasan fisik tetapi masih sangat luar biasa mobilitasnya dalam berbagai kegiatan memajukan pluralisme misalnya. Meskipun tetap saja akan dikonstruksikan oleh para produsen opini dan juga media sebagai sosok yang tidak berdaya. Bahkan tidak jarang mengecilkan peran sentral yang bisa dimainkan perempuan dengan memperlebar atau melembagakan peran domestiknya. Misalnya, dengan program makan siang gratis yang diajukan salah satu cawapres, mengalokasikan 400 triliun rupiah untuk menstimulasi ibu-ibu pemilik warung, atau bahkan ibu rumah tangga, memasak makanan sehat bagi anak-anak. Mengapa ketika soal memasak dan membesarkan generasi hebat, hanya perempuan yang dilibatkan, seakan-akan ini bukan pekerjaan laki-laki," kata Yuniyanti.
Sementara Julia Suryakusuma menyoroti akar masalah stunting yang menurutnya tidak hanya karena soal kurang gizi, tetapi juga perkawinan dini dan kemiskinan.
Peran Masyarakat Sipil
Dalam diskusi di FISIP UI awal Desember lalu tentang hal-hal yang mengikis demokrasi, diketahui bahwa demokrasi tergerus tidak saja karena kemunduran dalam prosedur dan substansi kompetisi elektoral yang dipenuhi potensi kecurangan, atau pengalihan persoalan-persoalan kebijakan legislasi ke pengadilan, dan pemanfaatan hukum sebagai alat menyelewengkan kekuasaan, tetapi juga karena terus meluasnya konstruksi budaya bias gender dan misogini dalam politik. Pengikisan ini tidak terjadi sekaligus dan tiba-tiba, tetapi perlahan dan tidak disadari. Di sini lah peran penting masyarakat sipil yang kritis dan tahan banting agar senantiasa ada kontrol terhadap upaya mengikis demokrasi.
Politik Misogini di AS
Patut dicatat bahwa kuatnya politik misogini juga terjadi di negara besar seperti Amerika Serikat (AS). Kandidat calon presiden dari Partai Republik Nikki Haley adalah salah seorang perempuan yang menghadapi serangkaian serangan seksis, mulai dari saat ia mencalonkan diri, saat debat live di stasiun televisi, hingga saat menjelang kaukus Iowa dan pemilihan pendahuluan di New Hampshire Januari 2024 ini.
Dalam debat di Miami baru-baru ini, pebisnis bioteknologi Vivek Ramaswamy yang telah berulang kali menyampaikan kecaman berbasis gender terhadap Haley, secara terang-terangan di hadapan publik menjuluki mantan duta besar Amerika Serikat untuk PBB itu sebagai “Dick Cheney in three-inch heels."
Ia merujuk pada sepatu perempuan setinggi tiga inchi atau 7,5 sentimeter yang dinilai mengesankan bahwa perempuan lebih tertarik pada penampilan. Dick Cheney adalah Wakil Presiden AS pada Pemerintahan Presiden George W. Bush.
Haley dengan senyum sinis membalas, “Anda salah, ini lima inchi (12 sentimeter)… dan saya mengenakan sepatu tinggi ini bukan sebagai fashion statement, tetapi sebagai amunisi.” Pernyataan Haley disambut tepuk tangan dan sorak sorai penonton debat itu.
Ibu Negara AS juga salah satu yang kerap menerima kecaman seksis ini. Mulai dari era Jackie Kennedy, Rosalyn Carter, Nancy Reagan, Barbara Bush, Hillary Clinton, Laura Bush, Melania Trump hingga Jill Biden. Atau politisi seperti Nancy Pelosi, Alexandria Ocasio-Cortez, atau Liz Cheney.
“Kekerasan semiotik” lewat kata-kata atau gambar untuk merendahkan perempuan atau tokoh politik perempuan, yang pada akhirnya melemahkan kesetaraan dan demokrasi. [em/jm]
Forum