Transisi Tunisia menuju demokrasi menjadi contoh bagaimana mengalahkan ekstremis-ekstremis seperti kelompok jihadis Negara Islam (ISIS), menurut pemimpin gerakan Islamis berpengaruh di negara tersebut.
"Keberhasilan Tunisia ada dalam kepentingan internasional, terutama dalam perang melawan ekstremisme dan Negara Islam dan kelompok serupa," ujar ketua Ennahda, Rachid Ghannouchi, dalam wawancara dengan kantor berita Perancis AFP, menjelang pemilihan parlemen Minggu atau yang pertama di negara tersebut sejak revolusi 2011.
"Model Tunisia adalah alternatif dari model Daesh. Model Tunisia menyatukan Islam dan sekularis, Islam dan demokrasi, Islam dan kebebasan untuk perempuan," ujarnya, menggunakan akronim Bahasa Arab untuk ISIS, yang telah merebut wilayah-wilayah di Irak dan Suriah.
"Salah satu dari cara terbaik untuk melawan terorisme adalah untuk mengadvokasi Islam moderat karena terorisme berdasarkan atas interpretasi ekstremis dari Islam," ujar Ghannouchi, yang partainya muncul sebagai kekuatan politik besar di Tunisia setelah revolusi yang menggulingkan presiden yang lama berkuasa, Zine El Abidine Ben Ali.
Seringkali disebut sebagai kisah keberhasilan langka yang mengikuti gerakan Kebangkitan Arab (Arab Spring) yang menyapu sebagian besar wilayah tersebut tiga tahun lalu, negara Afrika Utara itu berharap pemilu dapat menjadi nilai lebih dari transisi yang terkadang bermasalah.
Tunisia telah menghadapi kerusuhan sosial karena ekonomi yang lemah, kekerasan yang diduga dilakukan para Islamis, dan serangan-serangan dari kelompok-kelompok militan termasuk loyalis-loyalis al-Qaida.
Seorang anggota pasukan keamanan tewas Kamis (23/10) dalam adu tembak dengan "teroris-teroris" bersenjata di kota Oued Ellil beberapa kilometer dari ibukota, menurut pihak berwenang.
Para jihadis dipersalahkan atas pembunuhan dua politisi sayap kiri tahun lalu yang membawa negara itu ke dalam krisis politik panjang.
Ghannouchi mengatakan pertumpahan darah semacam itu "tidak berkaitan dengan jihad. Itu terorisme dan kejahatan."
Ennahda memenangkan pemilihan 2011 untuk majelis konstituen yang didasarkan pada konstitusi pasca-Ben Ali.
Ghannouchi mengatakan bahwa pelajaran yang diambil sejak 2011 salah satunya adalah bahwa "konsensus, fakta bahwa Tunisia tidak dapat dikuasai satu partai tunggal." (AFP)