Sejak tahun 2014 Balai Besar Taman Nasional melakukan monitoring terhadap tiga jenis satwa prioritas terancam punah yaitu anoa, babirusa dan burung Maleo di Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah.
Dibandingkan dengan data baseline tahun 2013, hasil monitoring yang dilakukan terakhir kali pada tahun 2018 itu menunjukkan kecenderungan penurunan populasi untuk jenis anoa dan babirusa, sedangkan burung Maleo mengalami peningkatan hingga 57 persen.
Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu mengkhawatirkan kecenderungan populasi satwa anoa dan babirusa yang terus menurun di dalam kawasan itu. Hasil monitoring satwa terancam punah prioritas Taman Nasional Lore Lindu menunjukkan satwa anoa yang terpantau pada tahun 2018 berjumlah 10 ekor, menurun 87 persen dibandingkan dengan baseline data awal di tahun 2013 berjumlah 77 ekor.
Situasi serupa juga dialami satwa babirusa yang mengalami penurunan 44 persen dari jumlah 74 ekor pada tahun 2013 menjadi 41 ekor di tahun 2018. Kabar baiknya satwa jenis burung Maleo mengalami peningkatan 57 persen dari jumlah 646 ekor pada tahun 2013, naik menjadi 1018 ekor di tahun 2018.
Berbicara kepada VOA, Dedy Asriadi Kepala Bidang Teknis Konservasi BBTNLL mengatakan diperlukan penelitian lebih jauh untuk mengungkap penyebab penurunan populasi anoa dan babirusa tersebut.
“Keterancaman satu jenis kan ada dua faktor, pertama memang habitatnya itu terfragmentasi artinya yang dulunya menjadi habitatnya itu terkonversi menjadi penggunaan lain, biasanya begitu yah, jadi kebun kah atau apa, atau yang kedua itu –akibat- perburuan. Kita belum mendapatkan analisa yang pasti kenapa trend untuk dua jenis – anoa dan babirusa– itu menurun” ungkap Dedy Asriadi saat ditemui di Kantor Balai Besar Taman Nasional, Kota Palu, Sulawesi Tengah.
Dedy Asriadi mengungkapkan pihaknya berupaya mendorong keterlibatan lembaga pendidikan di wilayah itu untuk ikut terlibat mengkaji penyebab menurunnya populasi anoa dan babirusa di kawasan Taman Nasional Lore Lindu. Ia mengatakan dengan luas kawasan yang mencapai 115.733,70 ribu hektare, dibutuhkan keterlibatan pemangku kepentingan terkait untuk memberikan input berdasarkan data-data hasil kajian penelitian yang akan menjadi masukkan bagi BBTNLL dalam upaya pelestarian satwa anoa, babirusa dan burung Maleo di kawasan Taman Nasional Lore Lindu.
“Dengan integrasi yang baik itu, LIPI, perguruan tinggi setempat yang mempunyai SDM untuk mengkaji itu, membuat kami mendapatkan input yang pasti dengan data yang valid untuk membuat keputusan manajemennya,” jelas.
Pada bulan September 2019 mendatang kegiatan monitoring akan kembali dilakukan dengan menggunakan teknologi kamera pemantau yang dilaksanakan di lokasi yang sama seperti kegiatan yang dilakukan setiap tahunnya sejak tahun 2014 itu.
Pelibatan Masyarakat untuk menurunkan tingkat ancaman terhadap TNLL
Ilfianti, koordinator lapangan EPASS, Program Peningkatan Sistem Kawasan Konservasi di Sulawesi untuk Konservasi Keanekaragaman Hayati, menjelaskan salah satu cara yang dilakukan untuk menurunkan tingkat ancaman di kawasan konservasi Taman Nasional Lore Lindu yakni dengan membangun kesepakatan konservasi masyarakat (KKM) melalui perjanjian kerjasama (PKS) antara pemerintah desa dan Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu. Upaya yang melibatkan 16 desa yang berbatasan dengan Taman Nasional Lore Lindu ini disebutkannya dalam rangka kolaborasi pengelolaan kawasan antara BBTNLL dan masyarakat di sekitar kawasan konservasi.
Kesepakatan itu memungkinkan masyarakat untuk mendapatkan akses pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (HHBK) di zona tradisional untuk kebutuhan pemberdayaan ekonomi masyarakat dalam berbagai bentuk kegiatan yang diusulkan oleh masyarakat seperti pembuatan kebun bibit, pembuatan gula aren, kerajinan tangan memanfaatkan rotan dan daun pandan maupun kegiatan ekowisata seperti pembuatan rumah jaga pengamatan Maleo.
“Linknya ke penurunan tingkat ancaman. Jadi, masyarakat itu lebih sadar, oh seperti ini memanfaatkan sumber daya alam atau sumber daya hayati yang ada di kawasan sehingga mereka bisa terpenuhi kebutuhannya tapi hutan tetap suistanable secara ekologis,” jelas Ilfianti kepada VOA di Palu
Luas zona tradisional untuk masing-masing desa itu bervariasi antara 13, 25 hingga 50 hektare disesuaikan dengan keberadaan zona tradisional di desa tersebut. Namun demikian secara keseluruhan terdapat 25.229,5 hektare zona tradisional di dalam kawasan Taman Nasional Lore Lindu.
Senada dengan hal tersebut, Jusman, Kepala Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu berharap pemanfaatan HHBK di zona tradisional akan memberikan dampak peningkatan perekonomian masyarakat yang membuat masyarakat tidak perlu lagi merambah hutan untuk mencari nafkah yang mengganggu habitat satwa-satwa endemik seperti anoa, babirusa dan burung Maleo.
“Satwa prioritas seperti Maleo, babirusa kemudian anoa itu selain sebagai satwa prioritas kita berharap juga itu menjadi satwa indikator.Maksudnya, kalau masih banyak itu berarti yah kondisi habitat kita masih cukup bagus, bisa menjadi indikator. Kalau dulu banyak kemudian dari hasil pemantauan yang dilakukan bersama-sama itu ternyata makin menurun, itu berarti ada sesuatu yang menjadi tanda tanya,” jelasnya.
Selain satwa anoa dan babirusa, juga tercatat terdapat 225 jenis burung di Taman Nasional Lore Lindu, termasuk 78 jenis endemik Sulawesi dan 46 jenis yang penyebarannya terbatas. Ini meliputi jenis terkenal seperti Maleo, burung Enggang Red-Knobbbed, Woodcock Sulawesi, serta elang Sulawesi. Kekayaaan jenis burung tersebut menyebabkan Taman Nasional Lore Lindu juga menjadi surga pengamat burung yang datang baik dari dalam maupun luar negeri. [yl/lt]