Wakil Ketua Bidang Advokasi YLBHI Era Purnamasari mendorong pemerintah dan lembaga negara untuk menegakkan hukum atas perampasan lahan yang dilakukan perusahaan dan TNI-Polri.
YLBHI mencatat ada 16 kasus perampasan lahan dan 24 kasus kriminalisasi warga, serta tiga orang meninggal pada masa pandemi atau periode 2 Maret-2 Mei 2020. Dua orang meninggal akibat tusukan senjata tajam yang diduga dilakukan orang perusahaan dan satu orang meninggal dalam status terdakwa saat menghadapi persidangan.
Era meminta aparat penegak hukum tidak menjadikan wabah corona sebagai alasan keterlambatan terhadap respons kasus perampasan lahan dan kriminalisasi warga di berbagai daerah.
"Negara harus menghentikan misi-misi dan agenda yang menguntungkan elit dan pemodal besar dengan memanfaatkan situasi pandemi. Kebijakan-kebijakan yang memberikan kemudahan bagi perpanjangan HGB maupun HGU di tengah pandemi harus segera dibatalkan," jelas Era dalam konferensi pers online, Rabu (20/5).
Era menjelaskan 16 kasus perampasan lahan tersebut tersebar di sembilan provinsi. Antara lain Sumatera Selatan tiga kasus, Sulawesi Selatan tiga kasus, Sulawesi Utara dua kasus dan Jawa Timur dua kasus.
Kata Era, setidaknya ada 14 jenis hak yang dilanggar dalam kasus pelanggaran HAM ini, yang sebagian besar adalah pelanggaran atas hak hidup, hak atas lahan, serta hak atas kesehatan fisik dan mental.
Adapun tiga aktor yang dominan dalam kasus perampasan lahan yaitu perusahaan, TNI dan polisi. Menurut Era, dari 16 kasus, 14 kasus di antaranya melibatkan perusahaan selaku pemegang klaim lahan. Berikutnya TNI yang menjadi yang menjadi pelindung atau backing bagi perusahaan, sekaligus juga pemilik kepentingan terhadap lahan seperti dalam kasus Sumber Anyar, Jawa Timur. Sedangkan polisi terlibat di lebih dari 75 persen kasus perampasan lahan dengan peran sebagai beking perusahaan.
"Ini ada pola yang agak berbeda dengan polisi dan TNI. Kalau polisi sejauh ini belum kita temukan satupun kasus yang dia sekaligus pemegang klaim atas tanah. Tapi masih sebatas backing perusahaan. Kalau TNI dia bisa pemegang klaim dan beking," tambahnya.
Komnas HAM Serukan Pemerintah Tak Lakukan Penggusuran Saat Pandemi
Komisioner Komnas HAM, Muhammad Khoirul Anam mengatakan, telah menyerukan kepada pemerintah agar tidak melakukan tindakan yang berpotensi melanggar hukum dan HAM di tengah pandemi, seperti penggusuran. Ia beralasan akses masyarakat lebih kecil jika dibandingkan dengan pemerintah atau perusahaan dalam memperjuangkan keadilan dalam sebuah konflik. Karena itu, ia berpendapat semua keputusan pemerintah terkait konflik agraria pada masa pandemi ini batal.
"Kami menyerukan berhentilah melakukan penggusuran. Berhentilah melakukan tindakan yang bersifat fundamental seperti kalau ada amsa pengalihan HGU dan HGB ya berhenti dulu," jelas Khoirul Anam.
Khoirul Anam menambahkan seruan tersebut disampaikan ke pemerintah karena lembaganya tidak dapat maksimal bekerja pada masa pandemi. Termasuk menerima laporan dari masyarakat secara langsung jika ditemukan dugaan pelanggaran HAM.
Senada Anggota Ombudsman Ahmad Alamsyah Saragih mengatakan lembaganya sulit memproses laporan tentang konflik agraria pada masa pandemi. Ia beralasan sebagian besar laporan kasus agraria membutuhkan verifikasi langsung ke lapangan untuk penyelesaiannya.
"Yang paling mungkin kita nyatakan ke BPN untuk kasus yang tidak clean and clear jangan ditindaklanjuti. Karena akan menjadi persoalan, istilahnya kepatutan administrasinya tidak terpenuhi dalam situasi seperti ini," jelas Alamsyah Saragih.
VOA sudah menghubungi juru bicara TNI dan Polri terkait laporan YLBHI tentang kasus perampasan lahan pada masa pandemi. Namun hingga berita ini diturunkan belum ada tanggapan dari TNI dan Polri. [sm/em]