Sekretaris Fraksi PPP Achmad Baidowi mengatakan usulan RUU tentang Larangan Minuman beralkohol bukan hanya karena alasan agama. Namun, kata dia, RUU ini untuk melindungi generasi muda dari bahaya minuman beralkohol. Ia beralasan korban akibat minuman beralkohol terus bermunculan hampir setiap bulan seperti di pemberitaan media. Namun, ia tidak menjelaskan data utuh tentang korban akibat minuman beralkohol secara nasional.
"Kehadiran RUU ini bukan serta merta karena atas nama agama. Soal semangat agama Islam yang memang kebetulan minuman beralkohol itu menjadi semangat kami dalam berjuang. Tetapi pengaturan ini untuk melindungi generasi muda dan bangsa," jelas Achmad Baidowi dalam diskusi daring, Rabu (18/11/2020).
Achmad Baidowi menambahkan RUU tentang Larangan Minuman beralkohol juga telah mengakomodir keberagaman budaya dan agama di Indonesia. Menurutnya, itu terlihat dari pasal pengecualian konsumsi minuman beralkohol antara lain bagi ritual keagamaan, medis, dan kepentingan ekspor.
Kata Baidowi, fraksi PPP juga terbuka terhadap masukan dari berbagai pihak, termasuk soal judul dan isi RUU tentang Larangan Minuman beralkohol. Ia berharap RUU ini dapat masuk dalam Program Legislasi Nasional Prioritas 2021.
"Dan itu sah-sah saja diusulkan. Perkara ada yang kontra, itu biasa karena namanya demokrasi," tambah Baidowi.
Ia mengakui sudah ada sejumlah aturan tentang minuman beralkohol. Namun, kata dia, diperlukan aturan setingkat Undang-undang yang membahas secara khusus tentang larangan minuman beralkohol untuk memperkuat aturan ini.
Proporsi Konsumsi Minuman Beralkohol Warga di Atas 10 Tahun Capai Tiga Persen
Perwakilan dari Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza Kementerian Kesehatan Prijanto Djatmiko mengatakan proporsi konsumsi minuman beralkohol pada penduduk usia di atas 10 tahun sebanyak tiga persen. Hal tersebut berdasar Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar 2018 yang dilakukan Kementerian Kesehatan. Konsumsi tiga persen tersebut sebagian besar berupa minuman tradisional, bir, anggur dan arak.
"Kita juga ada pekerjaan rumah Sustainable Development Goals (SDGs) yang akan ditagih 2030. Itu salah satu butirnya adalah pengendalian alkohol," jelas Prijanto Djatmiko, Rabu (18/11/2020).
Prijanto Djatmiko menambahkan persoalan minuman beralkohol sebagian besar dialami remaja atau satu dari enam remaja mengkonsumsi alkohol. Namun, kata dia, hanya sedikit orang tua yang mengetahui anaknya mengkonsumsi alkohol.
Menurut Djatmiko, alkohol dapat menimbulkan ketergantungan, merusak organ tubuh, gangguan kejiwaan hingga kematian. Kementerian Kesehatan terus melakukan upaya pencegahan mulai dari edukasi bahaya alkohol dan penanganan bagi orang yang kecanduan alkohol.
ICJR Minta PPP Cabut dan Susun Ulang Naskah Akademik RUU Minol
Sementara itu Direktur Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu meminta PPP mencabut terlebih dahulu naskah akademik yang telah diusulkan ke Badan Legislasi. Ia beralasan naskah akademik yang disusun kurang rinci mengupas pengecualian dan data yang digunakan berasal dari alkohol bukan untuk konsumsi.
"Ya ditanya semangatnya dulu. Kalau kontennya berubah, tapi naskah akademiknya diatur begitu. Ya akan susah mengubahnya di DPR. Makanya ditanya dulu, PPP mau diubah apanya," kata Erasmus Napitupulu kepada VOA, Rabu (18/11/2020).
Erasmus menilai pembahasan RUU tentang Larangan Minuman Beralkohol pada masa pandemi ini juga tidak tepat. Sebab, sebagian besar orang kini sedang terdampak Covid-19 dan kehilangan pekerjaan. Satu di antaranya adalah pekerja di sektor pariwisata yang akan juga terdampak aturan larangan minuman beralkohol ini.
Ia juga mengingatkan larangan minuman beralkohol pernah diterapkan di Amerika Serikat pada kurun 1920-1933. Kata dia, akibat pelarangan tersebut marak terjadi perang antarkelompok dan penjara semakin penuh. Selain itu, minuman beralkohol justru dikuasai oleh pedagang atau bandar secara gelap. [sm/em]