Prabowo menyampaikan kabar itu dalam Sidang Kabinet Paripurna di Kantor Presiden, Jakarta, Senin (2/12),
“Saya mendapat paparan yang sangat menggembirakan. Produksi pangan naik, cadangan pangan kita mungkin terbesar selama beberapa tahun ini yang ada di gudang kita. Saya kira mendekati dua juta ton dan sangat besar kemungkinan dan keyakinan saya tahun 2025 kita tidak akan impor beras lagi,” ungkap Prabowo.
Menurutnya perkembangan yang baik ini tidak lepas dari upaya pemerintahan presiden Joko Widodo sebelumnya dalam menghadapi berbagai tantangan iklim seperti El Nino dan La Nina serta masalah geopolitik.
“Alhamdulilah kita sedang berada dalam posisi yang semakin kuat dan semakin ke depan kita akan tambah kuat di bidang ini. Kita nanti tidak hanya bebas dari impor beras, tapi kita harus bebas dari impor semua komoditas pangan,” tegasnya.
Guru Besar Fakultas Pertanian IPB University Dwi Andreas Santoso mengungkapkan potensi Indonesia tidak mengimpor beras pada tahun depan bisa saja terjadi. Namun Dwi menekankan bahwa hal ini disebabkan karena kondisi iklim yang sudah kembali normal.
“El Nino kan 2023 lalu kemudian berdampak ke 2024 karena mundurnya musim panen. Sedangkan tahun 2025 sudah berakhir dampak El Nino tersebut sehingga produksi saya pastikan naik,” ungkap Dwi ketika berbincang dengan VOA.
Selain itu, Dwi menjelaskan bahwa stock-to-use ratio (SUR) beras telah mendekati posisi ideal, dimana pada awal tahun 2024 telah mencapai 13 persen, dan ia perkirakan SUR pada tahun 2025 bisa mencapai 20 persen. SUR adalah rasio stok beras yang digunakan idealnya berada di angka 17-18 persen dari total kebutuhan konsumsi beras.
“Jadi menurut saya bukan karena upaya pemerintah meningkatkan produksi, tetapi karena iklim sudah kembali normal, SUR cukup besar, kenapa besar? karena tahun ini impor kita hampir mendekati 4 juta ton. Jadi menurut saya sama sekali bukan karena program pemerintah, ya alamiah saja,” jelasnya.
Menurutnya selama ini, program pemerintah yang ada untuk meningkatkan produksi beras tidak berhasil dengan baik. Hal ini, katanya, terbukti selama 10 tahun terakhir, produksi beras justru turun rata-rata satu persen per tahun.
“Selama 10 tahun terakhir produksi beras justru turun rata-rata satu persen per tahun. Terus gimana kesimpulan kita? Padahal 2015 ada program food estate, di Merauke juga 1,2 juta hektare, ada program intensifikasi yang kita sebut swasembada padi, jagung dan kedelai dan ada berbagai program lainnya. Lalu hasilnya? Minus 1,04 persen per tahun. Itulah kenapa tahun 2023-2024 kita harus melakukan impor dalam jumlah yang cukup tinggi,” tuturnya.
“Jadi murni tergantung iklim bukan karena kebijakan pemerintah. sehingga kalau misalnya iklim 2026 memburuk lagi ya minus lagi, pasti impor lagi,” tambahnya.
Dwi menyarankan kepada pemerintah untuk fokus kepada beberapa hal guna meningkatkan produktivitas pangan di dalam negeri termasuk beras.
Pertama, katanya, mengatasi serangan hama. Menurutnya hal ini cukup penting, karena jika kondisi iklim cenderung baik namun serangan hama tidak diatasi maka produksi akan anjlok.
“Dulu pernah ada program sekolah pengendalian hama terpadu, sekarang sudah tidak ada. Jadi itu adalah pengamanan hama secara serempak dengan komunitas petani, tapi sudah tidak ada selama 10 tahun terakhir program seperti itu. Sehingga perlu digalakkan kembali program pengendalian hama terpadu yang betul-betul masif dijalankan,” jelasnya.
Kedua, ujarnya, meningkatkan kesejahteraan petani. Ia menilai tingkat kesejahteraan petani saat ini cenderung membaik. Hal ini terlihat dari indikator Nilai Tukar Petani (NTP) Tanaman Pangan yang sudah mencapai 107 sesuatu yang menurut Dwi belum pernah terjadi selama 20 tahun terakhir. Berdasarkan data yang ada ia melihat bahwa NTP Tanaman pangan hingga September sudah mencapai 110.
NTP Tanaman Pangan merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan petani. Apabila NTP lebih dari 100 maka petani mengalami surplus. Namun, ujarnya, apabila NTP mencatatkan di bawah 100 menandakan petani mengalami defisit pendapatan.
Dwi juga berharap pemerintah fokus melakukan program-program yang potensi keberhasilannya tinggi termasuk mengelola atau mengolah lahan kering yang diperkirakan luasnya mencapai 14 juta hektar.
“Misalnya kan kita punya lahan kering 14 juta hektare, lahan sawah kita hanya 7,4 juta hektare. 14 juta hektare tersebut ada penduduknya, dan dimiliki oleh petani. Kalau bangun satu juta hektare di tengah hutan siapa yang mau mengelola? Jadi lahan-lahan yang existing yang masih berupa lahan-lahan kering konsentrasi saja di situ, sebagian mungkin bisa disawahkan dengan memperbaiki jaringan irigasi atau bikin jaringan irigasi ke wilayah yang bersangkutan. Kedua, ditanami padi gogo juga bisa,” jelasnya.
Maka dari itu menurutnya program-program di sektor pertanian yang selama ini dijalankan oleh pemerintah berulang kali selama puluhan tahun dinilai hanya membuang anggaran saja.
“Ada cetak sawah, brigade pangan, ada macam-macam yang gak jelas, semua perlu uang, uang dihambur-hamburkan untuk hasil yang saya pastikan gagal dan itu sudah 26 tahun terakhir,” pungkasnya.
Forum