Tingginya minat mempelajari bahasa Mandarin di Indonesia telah mendorong lahirnya institusi-institusi prasekolah (preschool) yang menyertakan Mandarin sebagai bahasa pengantar dan mata pelajaran utama.
Di kota-kota besar, jumlahnya tidak hanya belasan, tapi puluhan. Mereka bersaing menawarkan program-program yang dijanjikan bisa membuat anak-anak berusia dua hingga enam tahun akrab dengan bahasa asal negara Tirai Bambu itu dan bahkan menumbuhkan minat untuk mempelajarinya lebih jauh.
Edric Christopher, satu dari ratusan anak yang terdaftar di salah satu prasekolah seperti itu. Meski baru berusia lima tahun, siswa Rising Star Preschool ini sudah tergolong pandai membaca hanzi, karakter-karakter dalam bahasa Mandarin yang digunakan dalam tulisan.
Tentunya tidak semua siswa di Rising Star sepandai Edric. Di sekolah yang lebih mirip taman bermain anak-anak ini, para pelajarnya berada dalam kisaran usia dua hingga enam tahun. Tak heran, banyak di antara mereka yang bahkan tak bisa bercakap-cakap atau menggunakan bahasa dengan benar.
Di sekolah yang didirikan sejak 2010 di Surabaya ini, guru harus benar-benar sabar, karena banyak di antara para siswanya masih sulit memusatkan perhatian. Saat diminta menirukan gurunya menyebutkan sesuatu dalam bahasa Mandarin, beberapa di antara mereka terlihat tidak memperhatikan dan malah asyik melenggak-lenggokkan tubuh, atau melihat ke kiri dan ke kanan.
Rising Star hanyalah salah satu dari puluhan preschool di Surabaya dengan bahasa Mandarin sebagai bahasa pengantar, selain Indonesia dan Inggris. Henoch Pradana, direktur dan pendiri sekolah itu, mengatakan, menjamurnya preschool seperti itu karena banyaknya orangtua yang merasa bahasa Mandarin semakin diperlukan.
“Tahun-tahun terakhir ini, terutama hubungan investasi, perdagangan dan ekonomi dengan China meningkat pesat, sehingga kebutuhan orang-orang bisa berbahasa Mandarin meningkat drastis,” kata Henoch.
Fakta ini dibenarkan Fabian Lowing, direktur Champsville Preschool di Jakarta, yang juga menempatkan Mandarin sebagai salah satu bahasa pengantar dan mata pelajaran utama.
“Sudah lama pemerintah Indonesia terbuka untuk kolaborasi investasi dengan China dan Taiwan. Untuk memudahkan berbisnis dengan mereka tentunya membutuhkan kemampuan bahasa Mandarin. Saya kira inilah yang memicu para orangtua untuk menyekolahkan anak mereka di instusi-instusi yang mengajarkan bahasa Mandarin,” tutur Fabian.
Seperti halnya Rising Star, Champsville menggunakan tiga bahasa dalam dalam menjalankan program-programnya, yakni Indonesia, Inggris dan Mandarin -- namun dengan penekanan pada dua bahasa yang disebut terakhir.
Sebagaimana preschool pada umunnya, baik di Rising Star maupun di Champsville, kegiatan anak-anak di sana lebih seperti bermain dan bersosialisasi, bukan belajar serius. Namun para guru di sana, dengan sabar membaurkan bahasa Mandarin dalam berbagai aktivitas. Tergantung kelas usia, anak-anak di sana hadir selama maksimal empat jam pada setiap pertemuan.
Menurut Fabian, di Champsville, anak-anak dikelompokkan dalam empat kelas berbeda -- prenursery (2-3 tahun), nursery (3-4 tahun), K-1 (4-5 tahun) dan K-2 (5-6 tahun). Dua yang pertama, siswa diwajibkan hadir tiga kali seminggu, sementara dua sisanya lima kali semingggu.
Champsville, yang berlokasi di Pluit, Jakarta Utara, dan dibuka sejak tahun 2015, telah meluluskan sekitar 150 anak, sementara Rising Star di Surabaya, yang didirikan sejak 2010 – dan sempat tutup selama pandemi COVID-19 – telah meluluskan lebih dari 100 anak.
Biaya menyekolahkan anak di preschool yang menghadirkan bahasa Mandarin tidak murah. Champsville menetapkan biaya sekolah sekitar Rp4-5 juta per bulan per anak, sementara Rising Star sekitar Rp1 juta.
Menurut Henoch, biaya itu sesuai dengan fasilitas yang ditawarkan. Ia mengatakan, preschool yang menghadirkan native speaker bahkan menetapkan biaya yang jauh lebih tinggi. Ini karena lembaga pendidikan seperti itu perlu memberikan dukungan akomodasi, visa, dan gaji yang tidak kecil bagi para pengajar asing.
Meski tidak menghadirkan langsung native speaker dalam aktivitas keseharian, kata Fabian, sekolah yang dikelolanya selalu mengevalusi kurikulumnya secara rutin dengan bantuan sejumlah tenaga ahli dari China dan Taiwan.
“Kita ada kolaborasi dengan guru dari China dan Taiwan untuk mengevaluasi kurikulum kita dari tahun ke tahun, dan juga sharing ke guru-guru kita yang day-to-day ada di tempat, agar bisa men-deliver lesson secara lebih fun, menarik, engaging, yang bisa menarik perhatian murid-muridnya.”
Jeanny Maurine, seorang ibu yang anaknya bersekolah di Rising Star, mengaku senang dengan kemajuan yang dicapai anaknya dalam bahasa Mandarin di preschool itu. “Sejak bersekolah di Rising Star Preschool, anak saya jadi lebih percaya diri, lebih mandiri, serta membaca dan menulis (bahasa Mandarin) lebih lancar,” ujar Jeanny.
Baik Fabian maupun Henoch mengatakan, membiarkan anak-anak terekspos pada bahasa Mandarin sejak usia dini akan memudahkan mereka menyerap bahasa itu dan bahkan menumbuhkan minat pada bahasa itu.
“Lebih mudah karena belum bisa bahasa apa-apa. Belum bisa bahasa Mandarin, belum bisa bahasa Inggris dan bahkan belum bisa bahasa Indonesia. Mereka sama-sama memulainya dari nol. Bahkan, bahasa Indonesia pun merupakan bahasa asing bagi mereka,” kata Henoch.
Budi Kurniawan, salah seorang pengajar di Universitas Kristen Petra membenarkan itu. “Semakin awal seseorang belajar bahasa, semakin baik hasilnya. Mungkin ini bisa dilihat dari pengalaman langsung anak saya,” katanya.
Budi yang saat ini juga tercatat sebagai seorang pengurus di Lembaga Koordinasi Pendidikan Bahasa Tionghoa (LKPBT) Jawa Timur mengatakan, anaknya dibiarkan terekspos pada bahasa Mandarin sejak usia dua tahun karena bersekolah di Little Sun School, sekolah tiga bahasa di Surabaya dengan jenjang pendikan PG (playgroup), TK, SD, SMP dan SMA. Selepas TK, kata Budi, anaknya sudah pandai bahasa Mandarin.
Lebih jauh Budi mengatakan, banyak studi menunjukkan, kemampuan mempelajari bahasa asing berkurang seiring bertambahnya usia. Karena itu, dalam mempelajari bahasa, prinsip lebih awal lebih baik, sangatlah tepat.
Apalagi, kata Budi, bagi banyak orang Indonesia, Mandarin adalah bahasa yang tidak mudah dipelajari.
“Pertama itu tulisannya. Berbeda yah, terutama untuk orang Indonesia yang hanya mengenal 26 huruf dari A sampai Z, sementara Mandarin ini ada ribuan huruf, dan itu harus dihafalkan. Kedua, orang Indonesia tidak terbiasa dengan nada. Bahasa Mandarin adalah bahasa yang memiliki tone. Ada empat nada. Setiap syllable atau suku kata itu memiliki nada, dan itu berpengaruh terhadap makna. Sehingga nada ini juga harus dihapalkan,” jelasnya.
Sebuah studi yang dilakukan Tessa International School (sekolah multibahasa di New Jersey, Amerika Serikat) pada tahun 2022 menunjukkan, bahasa asing memang lebih mudah dipelajari pada usia dini. Para periset berargumentasi, anak-anak tidak hanya memiliki keunggulan kognitif terkait dengan usia, seperti plastisitas otak yang lebih tinggi, tapi juga karena memiliki cara mengadopsi bahasa baru yang sangat berbeda dengan orang dewasa.
Anak-anak, kata para periset, belajar secara implisit, melalui interaksi, nyanyian dan permainan. Mereka mendengarkan dan menirukan bunyi-bunyian seperti ketika belajar bahasa ibu mereka. Anak-anak kecil juga memiliki lebih sedikit keraguan dan lebih cenderung mengambil risiko tanpa khawatir akan dikoreksi. Mereka belajar karena keinginan untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang-orang di sekitar mereka. [ab/uh]
Forum