Presiden Taiwan yang baru terpilih, William Lai, dan Wakil Presiden Bikhim Hsiao, dilantik pada Senin (20/5). Lai menang telak dalam pemilihan presiden pada bulan Januari lalu, mengungguli kandidat-kandidat dari Partai Nasionalis China dan Partai Rakyat Taiwan (TPP).
Lai Ching-te diharapkan bisa mengikuti jejak pendahulunya, Presiden Tsai Ing-wen, yang berarti menyeimbangkan antara upaya memperkuat aliansi tidak resmi Taiwan dengan Amerika Serikat dan menjaga perdamaian dengan China, yang mengklaim Taiwan sebagai bagian dari wilayahnya, yang, jika diperlukan, dapat direbut kembali secara paksa.
“Pemerintahan baru di masa depan akan melanjutkan kebijakan Presiden Tsai Ing-wen dan terus mengedepankan tugas dalam menjaga keamanan nasional,” kata Lai.
Tsai adalah presiden perempuan pertama Taiwan dan salah satu dari sedikit pemimpin perempuan di Asia yang tidak berasal dari dinasti politik.
Warisan Tsai di antaranya adalah mempertahankan kedaulatan Taiwan dari China, menjadikan wilayah itu sebagai mitra yang kredibel bagi AS dan negara-negara demokrasi lainnya, mengawal legalisasi pernikahan sesama jenis, memimpin Taiwan semasa COVID-19 dan memulai modernisasi militer. Ia mengakhiri jabatannya dengan popularitas tinggi.
Lai, yang menjabat sebagai wakil presiden selama masa jabatan kedua Tsai, lebih dikenal sebagai sosok yang berapi-api di awal karirnya.
Pada tahun 2017, ia menggambarkan dirinya sebagai “pekerja pragmatis untuk kemerdekaan Taiwan,” yang menuai kecaman dari Beijing. Sejak saat itu, ia melunakkan sikapnya dan kini mendukung pemeliharaan status quo di Selat Taiwan dan peluang dialog dengan Beijing.
“Lai telah menghabiskan lebih dari dua tahun terakhir untuk mencoba meyakinkan dunia bahwa dirinya adalah ‘Tsai Ing-wen 2.0’,” kata Lev Nachman, lektor di National Chengchi University.
Lai akan melanjutkan upaya Tsai untuk memperkuat hubungan dengan AS, yang tidak secara resmi mengakui Taiwan sebagai sebuah negara namun memiliki hukum tersendiri untuk menyediakan sarana bagi wilayahnya untuk mempertahankan diri.
Tantangan terbesar yang dihadapai Lai terkait kebijakan luar negeri mungkin berasal dari Washington.
Nachman menilai, jika kandidat capres AS Donald Trump terpilih kembali, maka pemerintahan barunya dapat mengganggu keseimbangan yang telah dicapai Tsai dalam hubungan Taipei dengan Washington dan Beijing.
Sebagian besar penduduk Taiwan kini menyebut diri mereka sebagai orang Taiwan, bukan orang China, dan ingin diperintah secara terpisah dari Beijing.
Taiwan dan China memiliki pemerintahan yang berbeda sejak berakhirnya Perang Saudara China pada tahun 1949, yang menyebabkan para pendukung Partai Nasionalis China (Kuomintang) melarikan diri ke pulau itu, sementara Partai Komunis China menguasai daratan.
Tsai lalu mengubah kebijakan-kebijakan Kuomintang yang sebelumnya lebih ramah China.
Beijing menyebut Tsai sebagai separatis setelah ia menolak untuk mengakui Konsensus 1992, yaitu perjanjian yang menyatakan bahwa Taiwan adalah bagian dari “Satu China”.
Meski menarik diri dari Beijing, Tsai tetap membuka jalur komunikasi.
“Presiden Tsai selalu mengatakan bahwa Taiwan, di bawah kepemimpinannya, senang, bersedia dan antusias untuk berdialog dengan Beijing, hanya saja tidak dengan syarat-syarat yang dipaksakan secara sepihak oleh Beijing,” ujar Wen-Ti Sung, peneliti di lembaga kajian Atlantic Council di Washington.
China tidak hanya menolak berdialog dengan Tsai, tetapi juga meningkatkan tekanan militer dan ekonomi di Taiwan, mengirim kapal perang dan jet militer di dekat pulau itu setiap hari.
Beijing juga mencegah negara-negara yang memiliki hubungan diplomatik dengannya untuk menjalin hubungan formal dengan Taipei.
Bagaimana dengan Isu Dalam Negeri?
Lai juga diharapkan dapat melanjutkan beberapa reformasi domestik Tsai, meski ada kebuntuan politik di sana.
Meski Lai menang pilpres, DPP, partai yang dipimpinnya, kehilangan kursi mayoritasnya di badan legislatif, sehingga menyulitkan Lai untuk mendorong pengesahan legislasi, termasuk soal anggaran pertahanan nasional yang krusial.
Sabtu lalu (17/5), ribuan orang menggelar aksi protes di dekat markas DPP menjelang pelantikan Lai dan Hsiao, sambil mengangkat jambu biji di tangan. Di Taiwan, jambu biji digunakan sebagai simbol untuk merujuk seseorang yang tidak menepati janjinya.
Aksi unjuk rasa itu diinisiasi oleh pihak oposisi dari Partai Rakyat Taiwan (TPP). TPP mengklaim bahwa DPP, yang berkuasa di Taiwan, gagal dalam menangani kebijakan-kebijakan di lima bidang: reformasi media, peradilan, konstitusi dan parlemen, serta peningkatkan ekonomi pulau itu.
Menurut Sung, dalam hal kebijakan domestik, pasang-surut keberhasilan Tsai secara historis turut memberi efek buruk bagi DPP dalam pemilihan lokal.
Buruknya hasil yang dicapai DPP pada pemilu 2022 menyebabkan Tsai mengundurkan diri sebagai ketua partai.
“Sebagian besar keberhasilan pemerintahan Presiden Tsai berasal dari kebijakan luar negeri dan penguatan jangkauan internasional yang terkait. Namun, dalam hal menciptakan terobosan di tingkat partai, yang jauh lebih mengakar rumput, misalnya, masih perlu ada perbaikan,” ujar Sung. [br/jm]
Forum