Presiden China Xi Jinping bertemu dengan mantan Presiden Taiwan Ma Ying-jeou di Beijing, Rabu (10/4), dalam upaya mempromosikan unifikasi antara kedua pihak yang terpisah di tengah-tengah perang saudara tahun 1949.
Ma mengakhiri jabatannya hampir dua dekade silam. Ia tidak banyak dilibatkan dalam kampanye Partai Nasionalis yang gagal untuk merebut kembali kursi kepresidenan pada Januari lalu – suatu konsesi bagi tentangan kuat para pemilih terhadap unifikasi politik dengan China dan para politisi yang dianggap ingin mengompromikan keamanan Taiwan.
Ia mengikuti jajaran panjang politisi dari Nasionalis yang beroposisi, yang diundang ke China oleh pemerintahan satu partai yang otoriter tersebut dan diberi perlakuan sebagai orang penting saat berkunjung ke negara itu.
China mengklaim Taiwan sebagai teritorinya sendiri, yang akan dianeksasi secara paksa jika perlu. Beijing mengirimkan kapal-kapal angkatan laut dan pesawat-pesawat tempur di sekitar Taiwan setiap hari dengan harapan ini akan melemahkan pertahanan Taiwan dan mengintimidasi penduduknya.
“Rakyat di kedua sisi Selat Taiwan semuanya adalah orang Tionghoa. Tidak ada perselisihan yang tidak dapat diselesaikan, tidak ada masalah yang tidak dapat dibahas, dan tak ada kekuatan yang dapat memisahkan kita,” kata Xi kepada Ma.
“Perbedaan dalam sistem tidak dapat mengubah fakta bahwa kedua sisi Selat Taiwan adalah milik negara dan bangsa yang sama,” lanjutnya.
Ma menanggapi dengan mengatakan bahwa perang baru antara kedua pihak akan menjadi “beban tak tertanggungkan bagi negara China,”
“Orang-orang Tionghoa di kedua sisi Selat Taiwan pasti akan cukup bijak untuk mengatasi sengketa lintas-Selat secara damai dan menghindari konflik,” kata Ma. [uh/ab]
Forum