Undang-undang KPK hasil revisi sudah mulai berlaku pada 17 Oktober ini. Oleh karena itu sejumlah kalangan mendesak Presiden Joko Widodo agar segera menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu).
Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi hasil revisi akan tetap berlaku 30 hari setelah ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), meskipun Presiden Joko Widodo tidak menandatanganinya.
Artinya tanggal 17 Oktober 2019 ini, Undang-undang KPK hasil revisi itu sudah mulai berlaku. Untuk itu Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan KPK mendesak Presiden Joko Widodo untuk segera menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu).
Peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana kepada VOA, Senin (7/10) mengatakan jika Undang-undang KPK yang baru berlaku maka upaya pemberantasan korupsi akan berpindah ke jalur lambat.
Selain itu tambah Kurnia akan membutuhkan waktu yang panjang untuk kembali merevisi undang-undang KPK tersebut jika nantinya di tingkat Mahkamah Konstitusi dinyatakan keliru. Menurut Kurnia tidak ada alasan bagi presiden untuk tidak mengeluarkan Perppu karena adanya banyak penolakan di tengah masyarakat.
Pada dasarnya kata Kurnia Perppu merupakan hak konstitusional dan hak prerogative presiden. Adanya pihak yang menyatakan mengeluarkan Perppu terkait UU KPK ini merupakan tindakan inkonstitusional dan berpotensi pemakzulan presiden lanjut Kurnia hal itu merupakan pandangan yang sangat keliru.
“Jangan sampai Perppu ini tidak keluar, karena justru citra pemerintahan Jokowi-JK akan buruk dan juga citra pemerintahan Jokowi- Ma’ruf Amin ke depan tidak lagi dipercaya terhadap janji-janji anti korupsinya. Nah, ini penting disampaikan kepada DPR agar proses pengeluaran Perppu menjadi mulus. Ketika Perrpu dikeluarkan, KPK diselamatkan rakyat bersama presiden,” kata Kurnia.
Secara substansi, Kurnia menilai UU KPK hasil revisi masih bermasalah. Masalah itu menyangkut keberadaan Dewan Pengawas, kewenangan penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) hingga pencabutan status pimpinan KPK sebagai penyidik dan penuntut umum.
Terlebih menurutnya KPK sebagai institusi tidak dilibatkan dalam proses pembahasan UU itu sebelumnya.
LSI : 70,9% Publik Nilai Revisi UU Lemahkan KPK
Hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) menunjukkan 70,9 persen publik menilai bahwa revisi UU KPK dapat melemahkan KPK. Sebaliknya, hanya 18 persen publik yang mengetahui RUU KPK menilai hal itu dapat menguatkan KPK.
Tidak jauh berbeda dari nilai tersebut, sebanyak 76,3 persen publik juga menyetujui langkah presiden untuk mengeluarkan Perppu guna menggantikan RUU KPK yang telah disahkan. Hanya 12,9 persen yang tidak setuju akan langkah tersebut diambil oleh presiden.
Lembaga survei itu juga menyatakan bahwa tingkat kepercayaan publik terhadap institusi Dewan Perwakilan Rakyat hanya mencapai 40 persen. Hal itu jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan lembaga negara lain seperti Presiden dan juga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Kepercayaan terhadap Presiden mencapai 71 persen dan KPK 72 persen. Nilai itu berbanding terbalik dengan tingkat kepercayaan kepada parlemen.
“Masyarakat masih percaya kepada presiden, percaya presiden masih bisa melakukan sesuatu, memperbaiki hal ini. Masyarakat kan kalau tidak dipenuhi harapannya lama-lama kecewa dan tidak percaya. Menurut saya mumpung masih dipercaya presiden, sebaiknya presiden mempertimbangkan aspirasi,” ujar Direktur Eksekutif LSI, Djayadi Hanan.
Menko Maritim Luhut Binsar Panjaitan berpendapat jika Presiden Joko Widodo tak bisa menerbitkan peraturan presiden Pengganti Undang-undang pemberantasan korupsi atau Perppu KPK. Menurut Luhut, Perppu tak lagi bisa dicampuri eksekutif lantara produk hukum itu telah diproses oleh Lembaga Yudikatif.
“KPK kan sudah di-judicial review, mahasiswa yang minta, sudah jalan. Lah presiden tidak boleh mencampuri itu. Itu ketentuan bernegara, berundang-undang. Jadi kalau nggak ngerti malah aneh lagi,“ kata Luhut. [fw/em]