Rakyat Iran menuju ke TPS-TPS pada hari Jumat (19/5) untuk memilih presiden. Presiden Hassan Rouhani mungkin menghadapi tantangan kuat dari kaum konservatif yang telah mengecam caranya menangani ekonomi Iran dan kesepakatan nuklir yang ditandatanganinya dengan Barat.
Untuk masa depan politiknya, Rouhani memanfaatkan kesepakatan nuklir penting yang memicu pelonggaran sanksi ekonomi terhadap Iran. Namun penantang utama Rouhani, Ebrahim Raisi, telah mengkritik kesepakatan tersebut karena masih berisi sanksi terhadap layanan perbankan dan keuangan.
Rouhani dipandang sebagai favorit oleh analis politik dan dalam jumlah kecil data jajak pendapat. Sejarah juga mendukung Rouhani, karena semua presiden petahana telah memenangkan pemilihan ulang sejak tahun 1981.
Tapi jika Rouhani gagal memperoleh mayoritas suara di antara keempat kandidat dalam pemilihan hari Jumat, maka dua pemegang posisi teratas akan bertarung dalam pemilihan putaran kedua seminggu kemudian.
Raisi, kandidat konservatif kelompok garis keras, telah berkampanye dengan platform ekonomi, menjanjikan jutaan lapangan kerja dan menurunkan tingkat pengangguran yang saat ini 12,7 persen di negara tersebut. Raisi dipandang banyak orang sebagai tokoh yang dekat dengan Ayatollah Ali Khamenei, pemimpin tertinggi Iran saat ini, meski Khamenei belum menyatakan dukungan bagi Raisi.
Di bawah sistem pemerintahan Iran, yang diberlakukan setelah Revolusi Islam 1979, semua kandidat harus diperiksa oleh panel agama sebelum mendapatkan persetujuan untuk mencalonkan diri sebagai presiden. Walaupun Ayatollah menetapkan keputusan tertinggi mengenai kebijakan negara Iran, presiden masih memiliki pengaruh yang cukup besar dalam pemerintahan.
Kandidat pro-reformasi Mostafa Hashemitaba, yang sebelumnya mencalonkan diri pada pilpres 2001, dan mantan menteri kebudayaan Mostafa Mirsalim adalah dua kandidat lainnya yang bertarung dalam pilpres kali ini. [as]