JAKARTA —
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam rapat kerja pemerintah 2013 di Jakarta Senin (28/1), mengumumkan penerbitan Instruksi Presiden No. 2/2013 tentang Keamanan Ketertiban Masyarakat (Kamtibmas) atau penanganan gangguan keamanan dalam negeri.
Presiden menjelaskan, sepanjang 2012 Indonesia kerap diwarnai aksi kekerasan dan konflik komunal, termasuk terorisme, sehingga selama 2013 dan 2014 mendatang, tugas menjalankan keamanan dan ketertiban masyarakat menjadi prioritas utama. Presiden berharap dengan diterbitkannya inpres ini, situasi keamanan di dalam negeri bisa dijaga.
“Inti dari Inpres ini adalah instruksi saya untuk meningkatkan efektivitas penanganan gangguan keamanan di seluruh Tanah Air. Dengan inpres ini saya berharap situasi keamanan di dalam negeri kita, benar-benar bisa kita jaga,” ujarnya.
Presiden menginstruksikan setiap kepala daerah, pemimpin kepolisian, dan pemimpin militer di pusat dan daerah agar mampu menyelesaikan permasalahan gangguan keamanan secara tuntas hingga ke akarnya. Presiden menegaskan, tidak ada lagi kelambatan dalam bertindak.
“Di samping Polri sebagai penjuru, dalam keadaan tertentu dibantu TNI dan jajaran lain, maka peran para gubernur, para bupati dan para walikota akan sangat besar dan menentukan,” ujar Presiden.
“Dengan Inpres ini tidak boleh ada lagi keragu-raguan dalam bertindak. Tidak boleh lagi ada keterlambatan mengatasinya. Tidak boleh lagi kita tidak bisa mencegah sesuatu yang sebenarnya bisa kita cegah. Dan juga kita tidak boleh lagi kita menangani konflik komunal, atau aksi kekerasan, secara tidak tuntas. Jangan menyimpan bom waktu, selesaikan secara tuntas.”
Presiden juga menekankan kepada seluruh jajaran pemerintah agar dalam dua tahun ini fokus pada peningkatan kinerja. Oleh karena itu, presiden memerintahkan agar jajarannya bisa menggunakan waktu sebaik-baiknya dan mengesampingkan kepentingan pribadi dan kelompoknya.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) segera menolak diterbitkannya Inpres tersebut karena dianggap mengatasi pkonflik komunal dengan pendekatan penanganan keamanan.
Koordinator Badan Pekerja KontraS Haris Azhar kepada VOA mengatakan bahwa isu konflik agraria, teror, kekerasan terhadap kelompok minoritas, ketidakadilan dan sederet konflik lainnya selalu dijawab dengan menurunkan jumlah pasukan bersenjata berskala besar.
“Harus ditolak pengesahan Inpres ini. Ketegasan polisi itu sudah diatur di UU No.2/2002tentang Polri. Tentang pelibatan TNI dalam penanganan masalah keamanan juga sudah diatur di UU No. 34 tentang tugas pokok TNI. Seolah-olah urusannya hanya soal keamanan. Padahal, masyarakat marah itu kenapa? Soal keadilan ekonomi yang tidak pernah diperbaiki,” ujar Haris.
“Pemerintah tidak pernah mengintervensi untuk menjamin keberpihakkan pada masyarakat kecil. Lalu peristiwa demi peristiwa, kalo orang kecil itu penegakan hukumnya sangat represif. Kalau orang besar tidak ada penegakan hukum. Ada diskriminasi penegakan hukum disana. Yang selalu dilakukan pemerintah saat penanganan konflik selalu penambahan pasukan. Jadi selalu pendekatan keamanan. Rumusnya adalah rumus lama, yaitu rumus Orde Baru.”
Haris berharap Presiden dapat terus memantau dan mengevaluasi peran pemerintah dan polisi di daerah dalam mengimplementasikan kebijakan yang pro pada akses ekonomi dan sosial masyarakat, termasuk penanganan masalah keamanan.
Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, menurut Haris, harus bisa memfasilitasi koordinasi bersama antara Kementerian Dalam Negeri dan Polri dengan melibatkan Dewan Perwakilan Daerah serta Komnas HAM dalam penanganan masalah-masalah konflik komunal di daerah.
KontraS mencatat, sepanjang 2012 tercatat terjadi 32 kali ketegangan konflik di daerah, dengan 28 orang tewas dan lebih dari 200 orang luka-luka. Dari data KontraS, pemicu yang muncul adalah isu sengketa lahan, ketidakpuasan warga atas praktik penegakan hukum, peristiwa kriminal, beredarnya pesan provokatif, dan dendam konflik lama yang belum tertuntaskan.
Presiden menjelaskan, sepanjang 2012 Indonesia kerap diwarnai aksi kekerasan dan konflik komunal, termasuk terorisme, sehingga selama 2013 dan 2014 mendatang, tugas menjalankan keamanan dan ketertiban masyarakat menjadi prioritas utama. Presiden berharap dengan diterbitkannya inpres ini, situasi keamanan di dalam negeri bisa dijaga.
“Inti dari Inpres ini adalah instruksi saya untuk meningkatkan efektivitas penanganan gangguan keamanan di seluruh Tanah Air. Dengan inpres ini saya berharap situasi keamanan di dalam negeri kita, benar-benar bisa kita jaga,” ujarnya.
Presiden menginstruksikan setiap kepala daerah, pemimpin kepolisian, dan pemimpin militer di pusat dan daerah agar mampu menyelesaikan permasalahan gangguan keamanan secara tuntas hingga ke akarnya. Presiden menegaskan, tidak ada lagi kelambatan dalam bertindak.
“Di samping Polri sebagai penjuru, dalam keadaan tertentu dibantu TNI dan jajaran lain, maka peran para gubernur, para bupati dan para walikota akan sangat besar dan menentukan,” ujar Presiden.
“Dengan Inpres ini tidak boleh ada lagi keragu-raguan dalam bertindak. Tidak boleh lagi ada keterlambatan mengatasinya. Tidak boleh lagi kita tidak bisa mencegah sesuatu yang sebenarnya bisa kita cegah. Dan juga kita tidak boleh lagi kita menangani konflik komunal, atau aksi kekerasan, secara tidak tuntas. Jangan menyimpan bom waktu, selesaikan secara tuntas.”
Presiden juga menekankan kepada seluruh jajaran pemerintah agar dalam dua tahun ini fokus pada peningkatan kinerja. Oleh karena itu, presiden memerintahkan agar jajarannya bisa menggunakan waktu sebaik-baiknya dan mengesampingkan kepentingan pribadi dan kelompoknya.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) segera menolak diterbitkannya Inpres tersebut karena dianggap mengatasi pkonflik komunal dengan pendekatan penanganan keamanan.
Koordinator Badan Pekerja KontraS Haris Azhar kepada VOA mengatakan bahwa isu konflik agraria, teror, kekerasan terhadap kelompok minoritas, ketidakadilan dan sederet konflik lainnya selalu dijawab dengan menurunkan jumlah pasukan bersenjata berskala besar.
“Harus ditolak pengesahan Inpres ini. Ketegasan polisi itu sudah diatur di UU No.2/2002tentang Polri. Tentang pelibatan TNI dalam penanganan masalah keamanan juga sudah diatur di UU No. 34 tentang tugas pokok TNI. Seolah-olah urusannya hanya soal keamanan. Padahal, masyarakat marah itu kenapa? Soal keadilan ekonomi yang tidak pernah diperbaiki,” ujar Haris.
“Pemerintah tidak pernah mengintervensi untuk menjamin keberpihakkan pada masyarakat kecil. Lalu peristiwa demi peristiwa, kalo orang kecil itu penegakan hukumnya sangat represif. Kalau orang besar tidak ada penegakan hukum. Ada diskriminasi penegakan hukum disana. Yang selalu dilakukan pemerintah saat penanganan konflik selalu penambahan pasukan. Jadi selalu pendekatan keamanan. Rumusnya adalah rumus lama, yaitu rumus Orde Baru.”
Haris berharap Presiden dapat terus memantau dan mengevaluasi peran pemerintah dan polisi di daerah dalam mengimplementasikan kebijakan yang pro pada akses ekonomi dan sosial masyarakat, termasuk penanganan masalah keamanan.
Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, menurut Haris, harus bisa memfasilitasi koordinasi bersama antara Kementerian Dalam Negeri dan Polri dengan melibatkan Dewan Perwakilan Daerah serta Komnas HAM dalam penanganan masalah-masalah konflik komunal di daerah.
KontraS mencatat, sepanjang 2012 tercatat terjadi 32 kali ketegangan konflik di daerah, dengan 28 orang tewas dan lebih dari 200 orang luka-luka. Dari data KontraS, pemicu yang muncul adalah isu sengketa lahan, ketidakpuasan warga atas praktik penegakan hukum, peristiwa kriminal, beredarnya pesan provokatif, dan dendam konflik lama yang belum tertuntaskan.