Bagi Zaenal Abidin, jaksa di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), menangani kasus suap adalah makanan sehari-hari. Berpindah dari satu wilayah ke wilayah yang lain, dia menyeret banyak pejabat daerah ke bui. Uniknya, kasus yang menimpa seorang bupati atau wali kota jarang menjadi pelajaran bagi pejabat di daerah lain.
Menurut Zaenal, ia sering menemui kasus penangkapan kepala daerah yang hanya berselang satu atau dua minggu setelah kepala daerah itu bekerja sama dengan KPK dalam menyelenggarakan pelatihan antikorupsi bagi birokrasi daerah.
“Sistem kan sudah online, kita sudah benahi semua, jangan lagi transaksional. Sudah kita selenggarakan berbagai macam pendidikan, pelatihan, pembangunan sistem, dan pemerintah sudah meng-update itu semua. Tinggal integritas saja,” kata Zaenal, ketika berbincang dengan VOA di teras Pengadilan Negeri Yogyakarta, Senin (7/11) sore.
Zaenal adalah satu dari empat jaksa yang dikirim KPK untuk menangani kasus suap perizinan apartemen untuk grup pengembang raksasa, Summarecon Agung. Grup bisnis properti nasional ini ingin membangun apartemen di Yogyakarta. Di lokasi yang dipilih, aturan mewajibkan tinggi bangunan maksimal 32 meter.
Namun, Summarecon Agung ingin bangunannya lebih tinggi dari ketentuan. Melalui serangkaian pemberian suap, Wali Kota Yogyakarta Haryadi Suyuti mengeluarkan rekomendasi yang mengizinkan tinggi apartemen mencapai 40 meter. Untuk katebelece penambahan delapan meter tinggi bangunan itu, wali kota Yogya menerima sepeda seharga lebih Rp80 juta, uang dalam bentuk dolar AS sebanyak $20.450, sekitar Rp20 juta dalam rupiah, dan satu unit mobil Volkswagen Scirocco. Summarecon Agung juga mengeluarkan sekurangnya $6.800 untuk pejabat di bawah wali kota.
“Faktornya dari kedua belah pihak. Dari penyelenggara negara membuka kesempatan untuk bisa menerima suap, dan dari pihak swasta juga sama, agar mudah perizinannya, agar mudah usahanya. Jadi kolaborasi kedua belah pihak, karena suap tidak bisa satu pihak saja,” tambah Zaenal.
KPK melihat kasus suap terkait jual beli perizinan bukan persoalan sistem. Pemerintah daerah di Indonesia telah menerapkan skema pengajuan daring, sehingga pemohon dan aparat negara tidak bertemu muka. Regulasi di negara ini, kata Zaenal, sesungguhnya telah mengatur dari hulu sampai hilir untuk mencegah penyelenggara negara melakukan tindak pidana korupsi.
“Semua kembali pada integritas penyelenggara negara, kemudian dari pihak swasta juga. Itu yang sampai sekarang masih rendah moralitasnya,” tambah Zaenal.
Upaya pendidikan dan pencegahan korupsi sudah diberikan, mulai dari pelajar, mahasiswa, hingga aparat pemerintah. Operasi Tangkap Tangan (OTT) juga jadi langganan KPK, dan pejabat koruptor berderet-deret dihukum. Semua itu tidak membuat pejabat takut melakukan korupsi. Semua, kata Zaenal, kembali ke persoalan integritas dan moralitas.
Ketentuan Tidak Sinkron
Sementara itu Layung Purnomo, pengacara petinggi anak usaha Summarecon Agung di Yogyakarta, menggarisbawahi persoalan utama yang seharusnya dibenahi di lingkup pemerintahan, yaitu sinkronisasi.
“Kalau kita boleh sampaikan, lakukan sinkronisasi. Lembaga-lembaga di pemerintah itu ada sinkronisasi satu aturan yang jelas, sehingga tidak menjadikan investor ini salah melangkah,” ujar dia.
Layung mencontohkan ketidaksinkronan aturan pemerintah terkait ketinggian maksimal bangunan. Menurutnya, setidaknya ada tiga ketentuan yang mengatur hal itu. Sesuai aturan Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan (KKOP), di titik di mana apartemen Summarecon Agung akan dibangun, kata Layung, ketinggian maksimal bangunan adalah 45 meter. KKOP adalah ketentuan yang ditetapkan berdasar UU 1/2009 tentang penerbangan. Sementara wali kota Yogyakarta mengeluarkan rekomendasi setinggi 40 meter, sedangkan Izin Mendirikan Bangunan atau IMB yang keluar dari pemerintah daerah adalah setinggi 32 meter.
“Saran kami, bahwa di sisi pemerintahan itu harus adanya koordinasi untuk menetapkan atau melakukan satu persesuaian peraturan. Ini yang paling penting. Sehingga kami sebagai investor tidak menjadi bingung,” tambah Layung.
Ia juga mengingatkan, pada prinsipnya sebenarnya Summarecon belum melakukan kegiatan pembangunan di lokasi.
“Artinya, diterbitkannya IMB inipun belum memberikan satu manfaat apapun, bagi kita sebagai pengusaha,” ujarnya.
Wali kota Yogyakarta menjadi tersangka, setelah terkana OTT KPK pada 2 Juni 2022, bersama petinggi Summarecon, Oon Nusihono. Setelah melakukan pengembangan, KPK menetapkan klien Layung, yaitu Dandan Jaya Kartika, sebagai tersangka pada 22 Juni 2022 dan divonis 2,5 tahun penjara pada Senin (7/11). Sedangkan Vice President Real Estate PT Summarecon Agung Tbk, Oon Nusihono divonis 3 tahun penjara karena memberi suap.
“Setelah diperiksa sebagai saksi, dua kali. Memang Pak Dandan bukan bagian dari OTT,” kata Layung.
Dalam tuntutannya, jaksa KPK memperlihatkan kedekatan Dandan dan wali kota Yogyakarta sepanjang proses pengurusan izin tersebut. Wali kota, misalnya, mengirim pesan melalui aplikasi percakapan bahwa dirinya akan berulang tahun, yang seolah menandakan dia menginginkan hadiah. KPK juga memiliki foto-foto kedekatan Dandan dan wali kota, termasuk semua perbincangan di aplikasi percakapan terkait transaksi perizinan itu.
Keduanya, diakui Layung, memang kawan lama sejak Haryadi belum menjadi wali kota.
“Pertanyaannya, apakah jika seorang kawan ini telah menjadi seorang pejabat, ini sahabatnya tidak boleh ketemu,” ucap Layung.
Integritas Kunci Utama
Baharuddin Kamba dari Jogja Corruption Watch menyebut kasus ini membuktikan bahwa sistem perizinan secara daring belum efektif.
"Artinya, dengan sistem yang selama ini sudah terbangun, ternyata tidak bisa menutup terjadinya peluang-peluang penyalahgunaan wewenang,” ujar Kamba kepada VOA.
Dalam sistem ini, sebenarnya pihak yang meminta izin sudah tidak memiliki kesempatan bertemu dengan aparat pemerintahan. Jika seluruh syarat yang ditentukan telah terpenuhi, maka dinas perizinan di pemerintah daerah manapun wajib mengeluarkan izin yang diminta. Salah satu potensi penyimpangan muncul ketika pengusaha tidak mau memenuhi syarat-syarat itu, dan berharap ada keistimewaan, misalnya soal waktu atau dalam kasus apartemen, adalah soal tinggi bangunan.
“Misalnya para pengusaha maunya cepat, dengan cara menyuap kan terbukti bisa. Dalam kasus di Yogyakarta ini misalnya, pengusaha minta 40 meter, tetapi aturan kan maksimal 32 meter,” lanjut Kamba.
Penambahan ketinggian bangunan hingga delapan meter itu, katanya, dilakukan melalui intervensi wali kota. Intervensi itu muncul, karena pendekatan dari pengusaha. Aturan dan sistem perizinan yang sudah ditetapkan, akhirnya tidak banyak berperan.
“Dengan melakukan intervensi, melakukan penekanan baik pembicaraan melalui telepon, maupun dalam rapat-rapat,” papar Kamba mengenai bagaimana kedua belah pihak mengakali aturan yang ada.
Kamba sepakat, setelah semua sistem diperbaiki, integritas adalah kunci. Seluruh pejabat di Indonesia sudah menandatangani Pakta Integritas untuk tidak melakukan korupsi, tetapi nyatanya janji itu tidak terbukti.
“Ini persoalan integritas. Mau sebagus apapun sistem aturan yang dipakai, integritas itu tetap pertaruhan. Tanpa integritas, maka hancurlah sistem yang ada. Jadi, menurut saya, yang diperbaiki jangan hanya sistemnya saja, tetapi juga manusianya, khususnya pada persoalan integritas,” papar Kamba. [ns/ah]
Forum