Pasca peluncuran program film dokumenter "Rekam Pandemi", Pemerintah Indonesia bertekad meningkatkan upaya berbagi informasi dampak pandemi virus corona dan ingin memastikan kesinambungan jaring pengaman sosial bagi para pekerja seni dan budaya Indonesia. Pemerintah Indonesia juga berharap arsip kemanusiaan ini bisa menjadi contoh bagi negara-negara lain.
Program "Rekam Pandemi" sudah selesai dilaksanakan. Program, yang diluncurkan pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) bekerja sama dengan Asosiasi Dokumenteris Nusantara (ADN) sejak April, telah merekam dampak pandemi virus corona di berbagai pelosok tanah air.
Sudah lebih dari 4.000 rekaman film dokumenter berdurasi satu hingga tiga menit telah dihasilkan oleh 300 dokumentaris di berbagai wilayah Indonesia dalam proyek dokumentasi besar-besaran mengenai dampak pandemi terhadap sosial dan budaya tersebut. Namun, itu dirasa belum cukup sehingga program ini diperpanjang hingga September.
Hilmar Farid, Dirjen Kebudayaan Kemendikbud menjelaskan alasan perpanjangan. “Kita melihat dari evaluasi, ini betul-betul multi dimensi, menyangkut seluruh bidang kehidupan, dan merasa masih banyak yang perlu disampaikan kepada masyarakat sehingga diputuskan berlanjut.”
Selain itu, Ketua ADN, Tonny Trimarsanto mengatakan, delapan tema yang disepakati sebelumnya akan diperluas menjadi 10. “Tema barunya adalah Coronasiana dan Penghayat. Penghayat ini maksudnya adalah penghayat kepercayaan, bagaimana agama-agama lokal merespon perubahan sehubungan dengan COVID. Coronasiana lebih ke hal-hal yang unik dan lucu.”
Petrus Kembo adalah dokumenteris Nusa Tenggara Timur (NTT) di Kupang yang memimpin sekelompok pembuat film dokumenter. Ia mengatakan Rekam Pandemi di daerahnya mendapati dampak terberat virus corona bagi warga di sana adalah pukulan ekonomi.
“Pendapatan ekonomi rumah tangga menurun, kehidupan mereka sangat tertekan karena tidak tahu bagaimana memenuhi kebutuhan keluarga. Masyarakat itu mempertanyakan di mana pemerintah karena memang NTT ini jauh dari pengawasan langsung pusat,” kata Petrus Kembo.
Jaring pengaman sosial bagi pekerja seni dan budaya juga menjadi sasaran program Rekam Pandemi. Hilmar Farid mengatakan belasan ribu pekerja seni dan budaya, termasuk para pekerja industri perfilman, sejauh ini sudah masuk dalam program ini dan berharap pemerintah akan meningkatkan anggaran demi kelangsungannya. Sekitar 350 miliar rupiah dari anggaran regular Kemendikbud digunakan untuk program ini termasuk program-program kebudayaan mendatang.
Film-film dokumenter yang diproduksi dalam program ini utamanya untuk pendidikan, namun Kemendikbud juga berbagi data yang diperoleh untuk kajian lebih jauh. Rekam Pandemi besar-besaran ini juga akan dipaparkan dalam ajang internasional, November mendatang.
“Judulnya ICONIC, Internasional Conference On Indonesian Culture. Rencananya proyek pandemi itu akan kita presentasikan di sana,” kata Hilmar Farid.
Indonesia juga berharap arsip kemanusiaan ini bisa menjadi contoh bagi negara-negara lain. “Arsip ini untuk memperlihatkan, pandemi ini riil dan dampaknya sangat dalam ke berbagai macam aspek, ya memang harus ada yang kita lakukan. Harapan saya, melalui UNESCO, bisa menyuarakan hal ini,” kata Hilmar Farid.
UNESCO, Badan Pendidikan, Sains dan Kebudayaan PBB, yang menaungi pendidikan, pengetahuan alam, pengetahuan sosial dan kemanusiaan, budaya dan komunikasi serta informasi, sejak lama mendukung upaya-upaya negara-negara untuk menciptakan masyarakat yang berpengetahuan dan memberdayakan masyarakat lokal dengan meningkatkan akses untuk pelestarian dan berbagi informasi. [my/ka]