Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Kamaruddin Amin menjelaskan program tersebut bernama "penceramah bersertifikat." Dia menekankan tidak ada kewajiban bagi penceramah untuk mengikuti program penceramah agama bersertifikat ini.
Menurut Kamaruddin, program penceramah bersertifkat tersebut bertujuan meningkatkan kapasitas, kompetensi para penceramah dalam dua hal, yakni mengenai pemahaman keagamaan yang moderat, menghargai perbedaan, dan sebagainya. Kedua, tentang wawasan kebangsaan.
Peserta program penceramah bersertifikat ini bisa berasal dari penceramah atau yang tergabung dalam organisasi-organisasi kemasyarakatan Islam. Mereka akan mengikuti lokakarya selama tiga hari dan mendapat beragam materi dari Kementerian Agama, Majelis Ulama Indonesia (MUI), Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), dan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).
Untuk tahap pertama, Kementerian Agama akan meminta ormas-ormas Islam mengirim nama penceramah yang direkomendasikan untuk mengikuti program penceramah bersertifikat. Nantinya program tersebut boleh diikuti individu-individu yang biasanya menjadi penceramah.
Pada tahap awal ini, ditargetkan 200 penceramah yang mengikuti program sertifikasi penceramah. Hingga ahir tahun ini, Kementerian Agama menargetkan 8.200 penceramah telah mengikuti program sertifikasi.
Kamaruddin mengatakan peserta sertifikasi penceramah tahap pertama ditargetkan menjadi inisiator untuk toleransi beragama dan pencegahan penyebaran paham ekstrem.
“Penceramah bersertifikat ini penting karena kita negara bangsa yang majemuk, yang plural. Nah, kita ingin penceramah-penceramah kita ini berfikir atau paham tentang realitas kehidupan sosial keagamaan di Indonesia,” kata Kamaruddin.
Program sertifikasi ini tidak hanya untuk penceramah bergama Islam, tapi juga agama lainnya. Materi keagamaan akan diberikan disesuaikan dengan agama masing-masing.
Kamaruddin menegaskan sertifikat buat penceramah hanya menjadi alat ukur wawasan yang dimiliki seorang da’i. Tidak ada keuntungan materi seperti gaji atau honor yang diberikan pemerintah kepada penceramah bersertifikat.
Sementara Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat MUI Muhammad Cholil Nafis menyarankan Kementerian Agama sebaiknya menjalankan program sertifkikasi itu secara internal kepada para penceramah yang berada di bawah Kementerian Agama. Sedangkan untuk yang berasal dari ormas-ormas Islam megikuti standar yang sudah dilaksanakan oleh MUI.
"Yaitu dai bersertifikat atau standardisasi dai karena tujuannya adalah peningkatan kompetensi. Tidak ada konsekuensi honor, tidak ada konsekuensi kewajiban, nggak ada konsekuensi dilarang untuk berceramah karena tidak ada standar tapi peningkatan kualitas dari da’i itu," ujar Cholil Nafis.
Cholil Nafis menjelaskan MUI sudah menyusun tiga standar yang harus dikuasai para penceramah, yaitu ilmu keislaman yang moderat, wawasan kebangsaan, dan kemampuan berdakwah secara inspiratif.
Komisi VIII DPR RI meminta Kementerian Agama (Kemenag) menghentikan program sertifikasi penceramah atau da’i. Ketua Komisi VIII Yandri Susanto menyebut yang berhak melabeli penceramah hanya Allah bukan Kemenag.
Kementerian agama tambahnya harus berdiskusi mendalam bersama ormas-ormas Islam besar mengenai rencana penerbitan sertifikasi penceramah.
Program sertifiasi penceramah ini sudah menjadi wacana pemerintah di era Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin. Namun rencana itu batal karena ditolak sebagian besar masyarakat Lalu pemerintah menyerahkan urusan tersebut kepada MUI. Menteri Agama Fachrul Razi menghidupkan lagi rencana program penceramah bersertifikat itu.[fw/ft]