Kementerian Luar Negeri China mengatakan pihaknya memanggil Duta Besar Filipina pada Jumat (8/11) untuk menyampaikan keberatan mengenai dua undang-undang baru di negara itu yang menegaskan hak-hak maritim dan kedaulatan atas wilayah Laut China Selatan yang dalam sengketa.
China menyampaikan “pernyataan serius” kepada Duta Besar Filipina tidak lama setelah Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr menandatangani Undang-undang Zona Maritim dan Undang-Undang Jalur Laut Kepulauan untuk memperkuat klaim maritim negaranya dan meningkatkan integritas teritorialnya.
Undang-undang Zona Maritim (Filipina) itu “secara ilegal mencakup sebagian besar Pulau Huangyan dan Kepulauan Nansha China serta wilayah maritim terkait di zona maritim Filipina,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Beijing Mao Ning, menggunakan nama Tionghoa untuk Scarborough Shoal dan Kepulauan Spratly.
Beijing telah menolak keputusan Pengadilan Arbitrase Permanen yang berbasis di Den Haag pada 2016 yang menyatakan klaim maritimnya yang luas atas Laut China Selatan tidak memiliki dasar hukum, dalam kasus yang diajukan oleh Manila. Amerika Serikat, sekutu Filipina, mendukung keputusan pengadilan tersebut.
Marcos mengatakan dua undang-undang yang ditandatanganinya, yang mendefinisikan hak maritim dan menetapkan jalur laut dan rute udara, merupakan demonstrasi komitmen untuk menegakkan tatanan berbasis aturan internasional, dan melindungi hak Manila untuk mengeksploitasi sumber daya secara damai di zona ekonomi eksklusif (ZEE).
“Rakyat kita, khususnya nelayan, harus bisa menjalani penghidupan mereka bebas dari ketidakpastian dan pelecehan,” kata Marcos.
Ia menambahkan, “Kita harus mampu memanfaatkan sumber daya mineral dan energi di dasar laut kita.”
Namun, Beijing mengatakan bahwa undang-undang tersebut merupakan “pelanggaran serius” terhadap klaimnya atas wilayah yang dipersengketakan.
“China mendesak pihak Filipina untuk secara efektif menghormati kedaulatan teritorial dan hak serta kepentingan maritim China, untuk segera berhenti mengambil tindakan sepihak apa pun yang dapat memperluas perselisihan dan memperumit situasi,” kata Mao.
China, yang juga memiliki sengketa kedaulatan dengan negara-negara lain di kawasan tersebut, di masa lalu telah memberlakukan undang-undang domestik yang mencakup Laut China Selatan. Salah satunya undang-undang penjaga pantai pada 2021 yang mengizinkan China untuk menahan orang asing yang dicurigai melakukan pelanggaran wilayah.
Beijing, yang menggunakan armada kapal penjaga pantai untuk menegaskan klaimnya, secara rutin menuduh kapal-kapal (asing) melakukan pelanggaran di wilayah Laut China Selatan yang termasuk dalam ZEE negara tetangganya, dan telah berulang kali bentrok dengan Filipina pada tahun lalu.
Para pejabat Filipina mengakui tantangan yang mereka hadapi dalam menerapkan undang-undang baru tersebut, dan salah satu pengusul RUU tersebut, Senator Francis Tolentino, mengatakan dia memperkirakan ketegangan tidak akan berkurang.
“China tidak akan mengakui (kedua UU kami) ini, namun pengakuan (imprimatur) yang akan kami terima dari komunitas internasional akan memperkuat posisi kami,” kata Tolentino dalam konferensi pers. [ft/pp]