“UNHCR telah melupakan kami, menjadi pengungsi bukan kriminal,” sorak Zia, salah satu pengungsi asal Afghanistan di depan kantor perwakilan UNHCR di Medan, Jumat (18/12). Zia adalah satu dari puluhan pencari suaka yang melakukan demo menuntut kepastian hunian, atau diberangkatkan ke negara ketiga seperti Australia, Selandia Baru, Kanada, dan Amerika Serikat.
Zia berada di Indonesia sejak tujuh tahun lalu, namun hingga kini nasibnya masih belum jelas. Para pencari suaka itu menilai UNHCR dan International Organization For Migration (IOM) tak memperdulikan mereka.
“Sampai kapan kami seperti ini, kami bingung. Kami ada keluarga di Afghanistan tapi tidak bisa berkomunikasi sama mereka karena di sana hampir setiap hari ada bom. Kami tidak bisa pulang ke negara asal. Kembali ke negara ketiga juga enggak bisa,” kata Zia.
Hal senada juga disampaikan Muhammad, pengungsi lain asal Afghanistan. Pria yang telah berada di Indonesia selama hampir 10 tahun ini mengatakan, para pengungsi merasa depresi karena tidak ada kejelasan mengenai kapan mereka akan dikirim ke negara tujuan.
“Proses di sini enggak ada. Khususnya sejak dua tahun lalu sampai sekarang tidak ada yang berangkat (ke negara ketiga). Saat Covid-19 mereka tidak ada lagi datang bertemu dengan kami. Sekarang lebih susah, kalau kami telepon tidak pernah diangkat. Kalau kami kirim pesan setelah lima hari baru dibalas,” ungkapnya.
Tak jelasnya nasib para pengungsi yang berharap dikirim ke negara tujuan menyebabkan beberapa dari pencari suaka itu mengalami gangguan jiwa. Bahkan, ada beberapa yang nekat bunuh diri karena dilanda depresi.
“UNHCR sudah tahu kondisi kami seperti apa, banyak pengungsi sudah sakit jiwa karena sudah lama di sini. Kami enggak boleh kerja, belajar, ke luar kota. Kalau kami ke luar kota ditangkap imigrasi. Itu menyebabkan depresi, mengakibatkan perkelahian, bunuh diri, atau pembunuhan pun terjadi,” ucap Muhammad.
Masih kata Muhammad, sebanyak 1.500 pengungsi dari berbagai negara yang menetap sementara di Medan. Untuk itu mereka berharap agar keinginan para pencari suaka bisa terwujud. “Kami berharap UNHCR dan IOM bisa koordinasikan dengan empat negara yang biasa menampung pengungsi dari Indonesia,” ujarnya.
Namun, unjuk rasa yang dilakukan para pencari suaka itu tak berlangsung lama. Unjuk rasa itu dibubarkan secara paksa oleh polisi dengan alasan Covid-19.
Kanit V Kamneg Dirintel Polda Sumut, AKP Nainggolan mengatakan pembubaran yang dilakukan pihaknya terhadap unjuk rasa itu karena menimbulkan kerumunan orang. “Karena ada Covid-19 akan menjadi klaster baru dan itu ada peraturan di Indonesia masih dilarang kerumunan. Itu sudah kita tegaskan dan mereka paham,” katanya.
Sejauh ini, tak ada tanggapan apa pun yang didapat para pengungsi dari pihak UNHCR atau IOM. [aa/ab]