Lebih dari 20 pengungsi pada Senin (6/2) berunjuk rasa di depan kantor UNHCR (Komisariat Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa Urusan Pengungsi) di Jakarta. Para pencari suaka ini memprotes UNHCR yang dinilai lamban mengurus persoalan mereka hingga bisa menetap di negara ketiga.
Kebanyakan pengungsi berasal dari Afghanistan, yakni orang-orang suku Hazara beraliran Syiah. Mereka memang terancam keselamatan hidupnya karena menjadi buruan Taliban dan ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah) yang menganggap Syiah aliran sesat. Salah satunya bernama Yahya Rafii, sudah hampir empat tahun terkatung-katung di Indonesia.
"Sekarang Afghanistan lagi konflik, kebanyakan ada Taliban atau sekarang baru ada ISIS. Di sana nggak aman. Jadi kita, suku Hazara, (mereka ada masalah) dengan Hazara dan Syiah. Jadi kita nggak bisa di sana, nggak aman buat kita," tutur Yahya.
Yahya, kini berusia 19 tahun, pergi meninggalkan Afghanistan pada 2013 sendirian. Sedangkan orang tua bersama empat adiknya memilih pindah ke Iran.
Dia hanya lulusan sekolah dasar dan sempat bekerja sebagai pelayan restoran sebelum memutuskan mencari suaka. Untuk sampai ke Indonesia, ayahnya menggelontorkan sekitar Rp 40 juta.
Yahya sudah lebih dari setahun mendapat status pengungsi. Dia berharap UNHCR bisa menempatkan dirinya di Australia karena memiliki kerabat di sana. Dia mengaku UNHCR tidak pernah menanggung beaya hidupnya selama di Jakarta. Dia cuma mengandalkan kiriman uang dari keluarganya di Australia sebesar Rp 1-2 juta sebulan.
Perjalanan dimulai dari Afghanistan ke India, lalu terbang ke Malaysia, baru ke Indonesia.
Semua perjalanan itu, menurut Yahya, dilakukan secara ilegal. Dia mencontohkan dari Malaysia hingga sampai ke Jakarta, dia membayar Rp 20 jutaan kepada penyelundup.
Umar Adil, pengungsi asal Ibu Kota Mogadishu, Somalia, ditemui di lokasi unjuk rasa, mengaku baru tiba semalam, hari Minggu (5/2). Dia mengaku hingga kini belum ada staf UNHCR di Jakarta menemui dirinya dan menanyakan keadaannya.
Lelaki lajang yang menolak menyebut nama lengkapnya ini bercerita dirinya lari dari Somalia, negara yang dilanda konflik berkepanjangan sejak lama. Pasukan pemerintah Somalia sudah lama berperang menghadapi kelompok pemberontak al-Shabab.
"Dari Mogadishu saya menyeberang ke Nairobi, Kenya. Dari Kenya ke Doha. Dari Doha ke Kuala Lumpur. Setelah itu, karena kami berpaspor Somalia kami tidak bisa memasuki wilayah Indonesia. Sehingga kami memakai jasa penyelundup untuk masuk ke Indonesia lewat Medan, kemudian berlanjut ke Jakarta. Perjalanan dari Medan ke Jakarta tiga hari tiga malam. Saya tiba di sini (Jakarta) semalam," kata Umar yang tadinya bekerja sebagai dosen di sebuah kampus di Mogadishu.
Untuk tiba di Jakarta dari Malaysia dengan cara ilegal itu, Umar mesti mengeluarkan uang sebesar $1.200. Dia tidak peduli akan ditempatkan di negara ketiga mana, yang penting aman dan bisa memulai hidup baru. Secara keseluruhan dia menghabiskan tujuh hari dari Mogadishu untuk tiba di Jakarta dengan biaya $5 ribu.
Selama sejam berdemonstrasi, para pengungsi itu meneriakkan beragam ucapan meminta UNHCR untuk segera mengurus nasib mereka hingga mendapat negara ketiga. Mereka membentangkan karton berisi ragam tulisan dari spidol. Di antaranya bertuliskan "Menjadi orang Hazara bukanlah sebuah dosa. Perhatikanlah kami."
Namun, hingga unjuk rasa selesai, tidak ada satu pun staf UNHCR bersedia menerima mereka di kantornya. Sampai berita ini dilansir, juru bicara UNHCR di Jakarta, Mitra Salima tidak bisa dimintai komentar.
Masalah pengungsi menjadi sorotan global setelah Presiden Amerika Serikat Donald Trump melarang masuknya pengungsi dari semua negara selama 120 hari. Sedangkan bagi pengungsi asal Suriah tanpa batas waktu.
Trump juga menutup pintu bagi imigran dari tujuh negara berpenduduk mayoritas Muslim, yakni Iran, Irak, Suriah, Yaman, Libya, Sudan, dan Somalia. Larangan ini berlaku 90 hari. [fw/al]