Gara-gara satu menit "berdoa" di sebuah gereja Ortodoks Februari lalu, hakim pengadilan di Moskow menghukum tiga perempuan muda anggota grup band punk rock. Masing-masing mendapat vonis dua tahun penjara.
Kasus ini memecah belah Rusia dan tampaknya menjadi ujian bagi kesediaan Presiden Vladimir Putin untuk mengambil tindakan tegas terhadap lawan-lawannya.
Sekitar 70 persen rakyat Rusia menganggap diri mereka beragama Kristen Ortodoks dan hirarki gereja terjalin erat dengan Kremlin.
"Pussy Riot"
Bulan Februari lalu, tiga perempuan berpakaian celana ketat berwarna cerah, rok mini dan penutup wajah, memasuki bagian terlarang dari Katedral Ortodojs terbesar di dunia, Kristus Juru Selamat. Mereka keluar dari depan altar, menari dan memetik gitar, sewaktu berdoa kepada Perawan Maria, yang berisi pesan menyingkirkan Presiden Putin.
Gereja-gereja Ortodoks Rusia melarang alat-alat musik, tarian dan penutup wajah semacam topeng. Kaum perempuan secara tradisional mengenakan pakaian konservatif dengan warga gelap atauu hitam.
Reaksi terhadap Vonis Penjara
Pada hari Jumat, di luar gedung pengadilan, orang Rusia penganut setia Ortodoks menyanyikan doa-doa. Salah seorang di antaranya, Yovan, menjelaskan mengapa ia datang. “Kelakuan ketiga perempuan Pussy Riot harus mendapatkan ganjaran. Mereka bertentangan dengan semua budaya Rusia. Mereka bertentangan dengan semua rakyat Rusia," tukasnya.
Namun, sebagian besar dari ratusan orang yang hadir di pengadilan hari Jumat tidak setuju. Kebanyakan di antara mereka bersimpati terhadap Pussy Riot. Dua dari tiga perempuan tersebut memiliki bocah cilik, yang tidak mereka jumpai sejak bulan Maret.
Katia yang berusia 21 tahun adalah seorang dari sekian banyak pendukung Pussy Riot. Ia mengatakan tidak percaya ketiga perempuan anggota kelompok band tersebut bersalah. Kekasih Katia, Alexei, mengatakan persidangan ini bukan merupakan pengadilan terhadap kejahatan, melainkan pengadilan politik.
Berdiri di dekatnya, Victor Zakharov, seorang pengusaha, mengecam vonis yang dijatuhkan hakim. “Ini menunjukkan bahwa tidak ada pengadilan yang adil di Rusia," ujar Zakharov.
Sebelum pengadilan digelar pada hari Jumat, para pendukung Pussy Riot menaruh penutup kepala berwarna cerah dan penutup wajah dari wool untuk bermain ski di kepala patung-patung di seluruh Moskow. Setelah vonis bersalah diumumkan, polisi secara agresif membubarkan gerombolan pemrotes di luar gedung pengadilan, dan mereka menahan beberapa puluh orang.
Sergei Udaltsov, seorang pemimpin oposisi sayap kiri mengatakan kepada wartawan ia mengundang semua orang untuk berunjuk rasa pada tanggal 15 September, guna memperjuangkan pembebasan Pussy Riot dan "tahanan politik" lainnya. Ia sendiri kemudian juga ditangkap.
Kasus ini memecah belah Rusia dan tampaknya menjadi ujian bagi kesediaan Presiden Vladimir Putin untuk mengambil tindakan tegas terhadap lawan-lawannya.
Sekitar 70 persen rakyat Rusia menganggap diri mereka beragama Kristen Ortodoks dan hirarki gereja terjalin erat dengan Kremlin.
"Pussy Riot"
Bulan Februari lalu, tiga perempuan berpakaian celana ketat berwarna cerah, rok mini dan penutup wajah, memasuki bagian terlarang dari Katedral Ortodojs terbesar di dunia, Kristus Juru Selamat. Mereka keluar dari depan altar, menari dan memetik gitar, sewaktu berdoa kepada Perawan Maria, yang berisi pesan menyingkirkan Presiden Putin.
Gereja-gereja Ortodoks Rusia melarang alat-alat musik, tarian dan penutup wajah semacam topeng. Kaum perempuan secara tradisional mengenakan pakaian konservatif dengan warga gelap atauu hitam.
Reaksi terhadap Vonis Penjara
Pada hari Jumat, di luar gedung pengadilan, orang Rusia penganut setia Ortodoks menyanyikan doa-doa. Salah seorang di antaranya, Yovan, menjelaskan mengapa ia datang. “Kelakuan ketiga perempuan Pussy Riot harus mendapatkan ganjaran. Mereka bertentangan dengan semua budaya Rusia. Mereka bertentangan dengan semua rakyat Rusia," tukasnya.
Namun, sebagian besar dari ratusan orang yang hadir di pengadilan hari Jumat tidak setuju. Kebanyakan di antara mereka bersimpati terhadap Pussy Riot. Dua dari tiga perempuan tersebut memiliki bocah cilik, yang tidak mereka jumpai sejak bulan Maret.
Katia yang berusia 21 tahun adalah seorang dari sekian banyak pendukung Pussy Riot. Ia mengatakan tidak percaya ketiga perempuan anggota kelompok band tersebut bersalah. Kekasih Katia, Alexei, mengatakan persidangan ini bukan merupakan pengadilan terhadap kejahatan, melainkan pengadilan politik.
Berdiri di dekatnya, Victor Zakharov, seorang pengusaha, mengecam vonis yang dijatuhkan hakim. “Ini menunjukkan bahwa tidak ada pengadilan yang adil di Rusia," ujar Zakharov.
Sebelum pengadilan digelar pada hari Jumat, para pendukung Pussy Riot menaruh penutup kepala berwarna cerah dan penutup wajah dari wool untuk bermain ski di kepala patung-patung di seluruh Moskow. Setelah vonis bersalah diumumkan, polisi secara agresif membubarkan gerombolan pemrotes di luar gedung pengadilan, dan mereka menahan beberapa puluh orang.
Sergei Udaltsov, seorang pemimpin oposisi sayap kiri mengatakan kepada wartawan ia mengundang semua orang untuk berunjuk rasa pada tanggal 15 September, guna memperjuangkan pembebasan Pussy Riot dan "tahanan politik" lainnya. Ia sendiri kemudian juga ditangkap.