Data terkini dari Biro Statistik Ketenagakerjaan di AS menyatakan, penghasilan untuk komposer musik bisa mencapai rata-rata sekitar 63 ribu dolar AS per tahun atau setara dengan 980 juta rupiah. Salah satu pekerjaannya adalah membuat musik yang mendukung cerita dalam film.
Menurut sineas asal Indonesia di San Francisco, California, Lydia Isnanto, musik memiliki peran yang besar dalam film.
“Aku rasa komposer itu penting sekali, karena semua emosi digerakkan oleh musik juga gitu,” papar Lydia Isnanto kepada VOA belum lama ini.
Terjun ke Film Scoring
Berawal dari ketertarikan akan dunia musik sejak kecil, Laurentia Editha (Lauren) yang berasal dari Surabaya lantas hijrah ke Amerika Serikat untuk menempuh pendidikan musik di Berklee College of Music, di Boston, Massachusetts, tahun 2013.
“Waktu kecil aku umur berapa ya, 3 atau 4, kayak nyoba main ‘Twinkle, Twinkle Little Star’ sendirian di piano, terus not-nya dapet gitu. Terus mama kayak ‘oh, harus les,’” kenang Laurentia Editha saat diwawancara oleh VOA belum lama ini.
Walau awalnya sempat diterima di fakultas kedokteran di Universitas Atma Jaya, Lauren yang gemar mendengarkan musik-musik karya komposer besar seperti Hans Zimmer dan John Powell lantas memilih jurusan film scoring atau musik untuk media, seperti film, televisi, dan video game.
“Aku juga enggak tau sih kenapa tertarik sama bidangnya yang spesifik kayak gitu, tapi mungkin karena very-very cinematic, ya, jadi kayak banyak emosinya yang bikin? Kayak kita bisa ngejar emosi mau sedih gimana, mau happy gimana, mau tegang gimana juga, jadi menarik banget buat aku,” cerita perempuan kelahiran 1995 ini.
Berklee College of Music telah melahirkan lulusan-lulusan terkenal seperti komposer pemenang piala Oscar dan Grammy yang terkenal lewat film waralaba Avengers, Alan Silvestri, John Mayer, Charlie Puth, Psy, Laufey, dan masih banyak lagi.
Dilansir dari situs Berklee, hingga kini, sebanyak 141 alumninya telah meraih 334 piala Grammy, yang merupakan penghargaan populer tertinggi di dunia musik.
Berjuang di Los Angeles
Setelah lulus, Lauren pindah ke Los Angeles, California, yang merupakan salah satu pusat industri hiburan di Amerika Serikat. Di kota inilah ia mengalami susah dan senangnya berkarir di industri yang ia pilih.
“Banyak orang yang pertama kali pindah ke Los Angeles tuh dia bilang, ‘kalau kamu enggak bisa tahan 3 tahun, mending pergi,’” kata Lauren.
Di tahun pertama, Lauren sempat menjadi asisten dari beberapa komposer, di mana ia bekerja dan mempelajari banyak hal baru. Tidak hanya sekadar menulis musik, tetapi ia juga mengerjakan hal yang berhubungan dengan administrasi, yang menurutnya penting untuk membangun portofolio.
“Assisting kanan-kiri, dibayar minimum wage (gaji minimum.red), magang gratis, enggak dibayar 5 bulan,” kenangnya.
Tidak hanya rela naik bis selama dua jam untuk pergi ke tempat magang, terkadang Lauren juga harus mencari pekerjaan ke-2, bahkan ke-3 jika penghasilannya kurang.
Kerja di Perusahaan Hans Zimmer
Akhirnya di tahun ke-2 Lauren di Los Angeles, ia diterima kerja di perusahaan Bleeding Fingers, yang ikut dimiliki oleh salah satu komposer idolanya, Hans Zimmer. Ia merasa sangat senang, rendah hati, dan beruntung bisa bekerja di perusahaan ini.
“Aku melihat banyak orang yang antara bisa masuk, tapi enggak bisa survive, atau enggak bisa masuk,” jelas Lauren.
“Apa lagi co-worker ku semua di sini juga hebat-hebat. Jadi movitasi untuk jadi semakin bagus, semakin banyak ketrampilan, untuk menjadi komposer yang lebih baik itu banyak banget,” tambahnya.
Tidak lagi menjadi asisten, kini Lauren menjabat sebagai komposer dan orchestrator, yang kerap menggarap musik untuk film dan acara televisi.
“Jadi film scoring itu kalau misalnya kamu nonton film, terus yang kamu denger di scene-nya, di filmnya yang bukan sound effect, jadi kayak tembak-tembakan gitu bukan itu, tapi musiknya,” jelas Lauren.
“Kita bukan sekadar nulis gitu, kita dapat picture, terus kita nulis for the picture gitu. Jadi musik sama visual itu harus benar-benar pas banget, harus klop supaya efektif di audience-nya,” tambahnya.
Hingga kini, Lauren sudah banyak terlibat dalam penggarapan musik untuk beragam serial televisi dan layanan streaming, seperti Alien Worlds dan Queer Eye di Netflix, dan Growing Up Animals di Disney+.
Tidak hanya itu Lauren juga ikut terlibat dalam penggarapan music untuk acara kesayangan yang sering ia tonton bersama keluarga sejak kecil.
“Saya kayak kontribusi to my favorite show,” ujarnya.
Nuansa Indonesia
Proyek pertama Lauren di Bleeding Fingers adalah menggarap musik untuk sebuah episode yang mengangkat tentang Bali dalam serial Home di Apple TV+.
“Memang kayaknya dikasih Bali ya, karena aku dari Indonesia,” jelas Lauren.
Menurut Lauren, ini adalah proyek yang “paling susah” yang ia kerjakan, mengingat ini adalah proyek pertamanya. Revisi pun harus ia lakukan hingga 7 kali.
“Harus belajar gimana cara (menanganinya), gimana caranya supaya enggak stres, gimana caranya supaya bisa manage work load, manage deadline, manage myself, emotionally mentally kayak gitu lho,” katanya.
Tergantung gaya musiknya, biasanya Lauren bisa menggarap musik berdurasi rata-rata 5 hingga 10 menit per hari. Namun, ada juga proyek yang memakan lebih banyak waktu.
“Yang lama sih kayak ‘Growing Up Animals’ gitu, itu kan 6 jam musik ya (6 episode dengan 1 jam musik per episode.red). Jadi secara jam terbang juga kalau dilihat dari ukuran musik yang sudah dirilis ya, yang 6 jam, 7 jam, 8 jam musik itu yang paling lama sih,” jelasnya.
Tanpa disadari, tak jarang Lauren memasukkan unsur suara yang terinspirasi dari musik tradisional Indonesia. Salah satunya dentingan gamelan.
“Kalau sudah (lahir dan besar) di Indonesia, terus pindah negara, aku sering dengar dulu orang bilang, musik-musik yang (Anda dengar saat tumbuh dewasa, cenderung Anda bawa),” tambahnya.
Raih Nominasi Emmy
Belum lama ini, karya musik Lauren untuk serial dokumenter Netflix, Island of the Sea Wolves, bahkan meraih nominasi dalam ajang penghargaan Daytime Emmy di Amerika belum lama ini, untuk kategori arahan dan komposisi musik terbaik.
“Seneng sih, tapi kayak apa ya, aku enggak bayangin bakal menang atau enggak, tapi dinominasiin itu udah kayak kemenangan tersendiri menurutku. Soalnya ada kayak recognition gitu lho, jadi aku netral banget," papar Lauren.
"Jadi waktu dinominasi senang banget. Masalah menang, enggak menang, itu masalah nanti,” tambahnya sambil tertawa.
Keluarga Lauren pun ikut senang mendengar kabar ini. Namun, bagi Lauren yang lebih menyenangkan adalah ketika menghadiri ajang penghargaan itu sendiri.
“Pakai dresses, make up, segala macam, jadi kayak fun banget,” katanya.
Tahan Banting
Namun, jalan untuk meraih pencapaian dan berada di titik yang sekarang pun tidak mudah ia lalui. Kuncinya bagi Lauren adalah harus ulet dan tahan banting.
“Soalnya ini bukan industri gampang sih, emang banyak deadline-nya juga kayak enggak tahu diri,” kata Lauren sambil bercanda.
“Kayak minta selesai 1 minggu, minta selesai 3 hari, tapi harus tahan banting, harus benar-benar mau,” tambahnya.
Reinhardt Kenneth yang mewakili Diana Couture, karya desainer asal Surabaya, Diana Putri di Los Angeles, California pernah bekerja sama dengan Lauren.
Lauren pernah menggarap musik untuk peragaan busana koleksi ‘Diana Couture’ tahun 2017 dan 2018 di ajang Los Angeles Fashion Week. Menurutnya, Lauren adalah sosok yang benar-benar luar biasa.
“Kemampuannya dalam memadukan aransemen yang besar, megah, dan epik dengan sedikit sentuhan budaya Indonesia, dan dipadukan dengan lagu-lagu pop kekinian, yang dibawakan dengan cara kontemporer yang “modis,” sungguh menginspirasi. Musiknya jelas menjadi salah satu highlight utama dari setiap peragaan busana,” kata Reinhardt kepada VOA.
Untuk kedepannya, Lauren akan merilis karya untuk sebuah proyek di mana ia ikut terlibat. Walau masih dirahasiakan, menurutnya, proyek ini sangat bagus dan sangat dekat dengan kampung halaman. Rencananya, karya Lauren ini akan dirilis di tahun 2024 ini. [di/dw]
Forum