Para pengunjuk rasa memblokir persimpangan jalan yang ramai di ibu kota Bangladesh, Jumat (26/2), untuk memprotes kematian seorang penulis dan komentator yang ditangkap atas tuduhan melanggar undang-undang keamanan digital yang menyeluruh, yang menurut para kritikus menghambat kebebasan berpendapat.
Mushtaq Ahmed (53 tahun) ditangkap di Dhaka pada Mei tahun lalu karena membuat komentar di media sosial yang mengkritik penanganan pandemi virus corona di bawah pemerintahan Perdana Menteri Sheikh Hasina. Permohonannya untuk dibebaskan dengan jaminan telah enam kali ditolak.
Belum jelas bagaimana Ahmed meninggal satu hari sebelumnya. Menteri Dalam Negeri Asaduzzaman Khan mengatakan, Jumat (26/2), penyelidikan akan dilakukan.
Ratusan pengunjuk rasa berkumpul di dekat kampus Universitas Dhaka sementara banyak lainnya menyuarakan kemarahan mereka di media-media sosial. Mereka meneriakkan slogan-slogan yang menuntut pembatalan undang-undang itu dan berulang kali mengatakan, “Keadilan, keadilan, kami ingin keadilan!.''
Human Rights Watch (HRW) dan Amnesty International mendesak Bangladesh menyelidiki kasus tersebut. Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ) yang berbasis di New York juga menuntut pemerintah membatalkan undang-undang keamanan digital dan menyelidiki kematian Ahmed.
Polisi mengatakan Ahmed berusaha menodai citra bangsa atau menyebarkan kebingungan.
Undang-Undang Keamanan Digital tahun 2018 menjatuhkan hukuman penjara hingga 14 tahun untuk propaganda atau usaha apa pun yang menentang perang kemerdekaan negara itu, pendiri negara Sheikh Mujibur Rahman dan lagu kebangsaan atau bendera. Undang-undang itu juga menyatakan seseorang bisa dipenjara hingga 10 tahun karena merusak keharmonisan masyarakat atau menciptakan kerusuhan atau kekacauan.
Amnesty International mengecam undang-undang itu karena kurangnya definisi yang jelas pada pasal-pasalnya sehingga bisa menimbulkan salah tafsir, tidak adanya penjelasan dan pengecualian, serta adanya hukuman represif untuk setidaknya 14 pelanggaran.
Pemerintah mengatakan undang-undang itu diperlukan untuk menjaga ketertiban. Partai-partai oposisi dan tokoh-tokoh media memperingatkan bahwa ruang lingkup undang-undang tersebut dapat disalahgunakan untuk menindas para kritikus.
CPJ, dalam sebuah pernyataannya, menuntut pembebasan salah satu tersangka lain dalam kasus Ahmed, yakni kartunis politik Kabir Kishore, yang juga ditangkap tahun lalu.
“Kematian Mushtaq Ahmed di penjara Bangladesh, di mana dia seharusnya tidak pernah ditahan sejak awal, adalah kehilangan yang menyakitkan dan tidak beralasan,'' kata Aliya Iftikhar, peneliti senior urusan Asia di CPJ. “Pemerintah Bangladesh harus mengizinkan penyelidikan independen tentang bagaimana Mushtaq Ahmed meninggal dan segera mencabut Undang-Undang Keamanan Digital, yang telah berulang kali dan secara tidak adil digunakan untuk menindas jurnalis." [ab/uh]