Ramadan merupakan bulan yang menawarkan banyak peluang bisnis bagi para penjahit di negara-negara yang mayoritas penduduknya Muslim, termasuk Pakistan. Seorang perempuan transgender melihat peluang itu dan memanfaatkannya.
Jiya, begitu namanya. Hanya satu kata. Pagi itu ia menyambut pelanggan yang datang ke kios jahitnya di sebuah kawasan pertokoan sederhana di Karachi dengan bahasa Urdu yang bercampur dengan bahasa Inggris. Sejak hari pertama Ramadan, ia kebanjiran pesanan, tidak hanya dari perempuan-perempuan yang ingin tampil menarik saat menyambut Idul Fitri nanti, tapi juga dari rekan-rekannya di komunitas LGBTQ.
Perempuan transgender berusia 35 tahun itu mengaku, bisnisnya menjanjikan meski belum lama dibuka karena status gendernya.
“Penjahit pria ada di mana-mana, dan mereka juga menjahit baju perempuan. Ada banyak perempuan yang ragu dan canggung untuk pergi ke penjahit pria. Mereka lebih merasa nyaman dengan kami. Itu sebabnya saya makin percaya bahwa kami akan memiliki lebih banyak pelanggan perempuan, selain para transgender dari komunitas kami sendiri," jelasnya.
Paling tidak itu dirasakan Farzana Zahid, perempuan yang jadi pelanggannya, "Seorang teman saya mengatakan, ada kios jahit di sini. Saya juga membaca adanya kios ini dari koran. Saya merasa saya harus mampir ke sana. Saya tunjukkan desain dan menyerahkan kainnya. Saya tidak ragu-ragu saat Jiya melakukan pengukuran, karena Jiya kan seperti kita. Saya merasa nyaman saat membiarkan ia mengukur saya."
Kios jahitnya diberi nama "The Stitch Shop". Mendapat dukungan LSM Trans Pride, kedai itu dibuka mulai Maret lalu, menjelang Ramadan yang berawal 13 April lalu. Ada dua perempuan transgender lain yang membantu pekerjaan Jiya sehari-hari.
Proses menjahit di kios milik Jiya hanya satu atau dua hari tergantung rancangannya. Satu pakaian dikenai biaya antara 1.000 dan 2.000 rupee atau sekitar 6,5 dan 13 dolar AS. Tak hanya perempuan yang menjadi pelanggannya, tapi juga perempuan transgender. Banyak rekan dari komunitasnya, kata Jiya, bekerja sebagai penghibur, penari dan penyanyi di pesta-pesta dan mereka memerlukan pakaian yang mencolok.
Menurut Jiya menjahit pakaian perempuan transgender tak semudah membuat pakaian perempuan normal. Pakaian mereka tidak hanya harus nyaman dipakai tapi juga modis.
“Tantangan terbesarnya adalah membuat pakaian yang ukurannya pas. Setiap penjahit bisa dengan mudah membuat pakaian perempuan biasa, tapi untuk membuat pakaian perempuan transgender tidak semudah itu. Perlu waktu untuk mempelajarinya. Mereka pada dasarnya memiliki tubuh pria. Saya sendiri butuh waktu satu setengah tahun untuk bisa memahami rasio panjang dan pernak-pernik lainnya. Beberapa transgender bertubuh tinggi, sementara lainnya pendek. Jadi, saya harus banyak berkonsentrasi untuk mempelajarinya,” jelasnya.
Lahir di kota Multan di provinsi Punjab, Jiya belajar hingga kelas 10 dan menempuh pendidikan sebagai anak laki-laki sejak kecil. Namun kemudian, ayahnya meninggal sehingga ia terpaksa pindah ke Karachi untuk bergabung dengan sebuah kelompok transgender. Didorong oleh seorang anggota senior komunitas itu, ia mulai menjahit pakaiannya sendiri dan busana-busana yang dibutuhkannya untuk manggung.
Dengan keterampilan menjahit di tangan, ia kemudian mendapat bantuan sebuah LSM yang dipimpin seorang pengacara transgender pertama di negara itu, Nisha Rao, yang memberinya pelatihan tentang layanan pelanggan dan mempekerjakannya di kios jahitnya.
Jiya mengatakan butuh empat hingga enam bulan bagi mereka untuk menemukan tempat bagi bisnisnya karena banyak tuan tanah yang enggan berbisnis dengan mereka karena orientasi seksual mereka dan karena kekhawatiran akan orang-orang yang datang ke kios mereka. Mereka akhirnya bisa menyewa dua unit di sebuah gedung bisnis baru.
Menurut Jiya usaha mereka tidak akan berhenti sampai di sini. "Saya dan teman-teman memiliki impian untuk mengembangkan toko ini menjadi butik dan melangkah lebih jauh lagi. Kami ingin memiliki butik yang menawarkan gaya pakaian timur dan barat. Pokoknya semua jenis pakaian.”
Sensus Pakistan pada 2017 mencatat ada sekitar 10.000 transgender di negara itu, meskipun kelompok-kelompok hak LGBTQ mengatakan jumlahnya sekarang bisa lebih dari 300.000 di negara berpenduduk 220 juta itu. Parlemen Pakistan mengakui jenis kelamin ketiga pada 2018, dan memberikan hak-hak dasar seperti kesempatan untuk mencantumkan jenis kelamin yang diinginkan pada dokumen-dokumen resmi. [ab/uh]