Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida angkat bicara terkait keputusan Jepang membuang air limbah Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Fukushima ke laut dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN-Jepang dan KTT ASEAN Plus Three yang diselenggarakan di Jakarta pada Rabu (6/9).
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengungkapkan dalam perhelatan KTT ASEAN-Jepang, PM Kishida menjelaskan langkah teknis apa yang sudah dilakukan oleh negaranya pasca pembuangan limbah tersebut.
“Jadi lebih kepada penjelasan [mengenai] langkah-langkah yang sudah dilakukan oleh Jepang termasuk masalah scientific based dan juga transparansi dan proses yang dilakukan bekerja sama dengan Badan [Energi] Atom Internasional (IAEA),” ungkap Retno.
Retno menambahkan bahwa isu serupa kembali dibahas dalam pertemuan KTT ASEAN dan China, Jepang serta Korea Selatan atau ASEAN Plus Three. Pada kesempatan tersebut, sejumlah negara tersebut menyampaikan kekhawatirannya terkait uji coba rudal balistik yang dilakukan oleh Korea Utara.
“Kemudian mengenai isu Fukushima, Jepang dan RRC mengangkat isu tersebut. Beberapa negara sampaikan concern terkait uji coba rudal balistik oleh Korea Utara.” jelasnya.
Kantor berita Reuters melaporkan Perdana Menteri China Li Qiang dan Kishida melakukan pertemuan singkat di sela KTT pada Rabu untuk berbicara soal pelepasan air limbah tersebut.
Kishida menolak menjelaskan bagaimana Li bereaksi dalam pertemuan itu.
Seperti diketahui, China telah memberlakukan pelarangan impor pada produk hasil laut Jepang sebagai respons atas pelepasan air limbah itu.
Sikap Tegas ASEAN Soal Fukushima
Pengkampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Didit Haryo Wicaksono, menilai seharusnya dalam perhelatan KTT ASEAN, negara-negara anggotanya bisa bersikap tegas terhadap kebijakan pemerintah Jepang yang membuang air limbah PLTN Fukushima ke laut. Apalagi secara geografis negara-negara ASEAN memiliki perbatasan perairan yang cukup dekat dengan Jepang.
“Saya pikir waktu kita tidak banyak tapi sebagai negara ASEAN kita bisa mempersiapkan melakukan riset yang lebih dalam mengenai dampak pembuangan ini, dan dari situ bisa mengeluarkan langkah-langkah dan mungkin kebijakan sebagai sebuah perkumpulan negara-negara anggota ASEAN terhadap kebijakan Jepang. … Sehingga kebijakan Jepang ke depannya bisa lebih ketat khususnya bagaimana mereka mengelola limbah radioaktif ini,” ungkap Didit.
Didit mengatakan langkah tersebut penting untuk dilakukan, mengingat dampak ancaman pembuangan air limbah cukup fatal di masa yang akan datang salah satunya meningkatkan risiko terkena penyakit kanker.
“Sebenarnya sejak dari tahun 2020 kita sudah memperingatkan Jepang bahwasanya mungkin 2-3 tahun lagi kapasitas penampungan air limbah Jepang ini akan mengalami jumlah yang tidak bisa mereka kelola, harus segera memikirkan caranya karena salah satu buangan yang akan dihasilkan dari air limbah tersebut adalah karbon 14, dan dari riset yang kita lakukan karbon 14 ini, punya dampak terhadap kesehatan khususnya terhadap DNA manusia ke depannya dan bisa menyebabkan kanker,” jelasnya.
Meskipun pemerintah Jepang selalu bersikukuh bahwa elemen-elemen dalam limbah tersebut seperti karbon 14 sudah mengalami proses pengolahan yang sangat ketat sehingga cukup aman untuk dibuang ke laut, Didit mengatakan faktanya pada Mei tahun ini telah ditemukan adanya paparan cesium-137 dengan kadar 180 kali lebih tinggi dari standar yang ada pada ikan yang terdapat di perairan Fukushima.
“Artinya sebenarnya secara teori mereka bilang bahwa itu aman, tapi kenyataannya di lapangan itu berkata lain. Jadi ancaman terhadap kandungan zat-zat ini yang harus diwaspadai karena ya balik lagi ini tidak bisa kita lihat dampaknya dalam 1-2 tahun, dampaknya akan sangat panjang ketika dia sudah masuk ke sel-sel makhluk hidup ya mungkin risiko terbesar akan meningkatnya kanker terhadap makhluk hidup sendiri,” tambahnya.
Lebih jauh Didit menjelaskan, tidak ada cara aman dalam mengelola limbah dari sebuah PLTN. Ia menilai cara pemerintah Jepang yang membuang limbah tersebut merupakan cara yang paling murah. Menurutnya, pemerintah Jepang harus segera memikirkan kebijakan lebih lanjut untuk bisa memitigasi dampak terburuk di masa depan.
“Ini akan jadi PR besar pemerintah Jepang ke depannya. Saya pikir juga ini permasalahan kenapa sampai kemarin Perdana Menteri mencoba makan ikan karena secara ekonomi juga berdampak terhadap produksi hasil laut mereka. Jadi kampanye untuk menunjukkan bahwa ini aman, saya pikir itu bukan demi alasan lingkungan tapi lebih ke alasan ekonomi,” pungkasnya. [gi/rs]
Forum