Selama setahun ini, Presiden Amerika Barack Obama memerintahkan agar pasukan darat di Irak dan Suriah dilatih dan dipersenjatai guna melawan militan ISIS.
Berbicara di Irak minggu lalu, Menteri Pertahanan Ashton Carter mengatakan, “Kita akan mengalahkan ISIS karena peradaban selalu menang dari kebiadaban. Tetapi guna mengalahkan ISIS, kita perlu pasukan darat bermutu yang bisa kita dukung, dan kita akan lakukan itu. Hal tersebut memerlukan tata pemerintahan yang melibatkan semua pihak.”
Awal bulan ini, Carter mengatakan rencana Amerika untuk melatih dan mempersenjatai ribuan “pemberontak moderat” itu berjalan sangat lambat. Sejauh ini, baru 60 orang dilatih.
Para aktivis mengatakan rencana di Suriah itu tidak akan berhasil. Sarah Leah Whitson, direktur eksekutif LSM Human Rights Watch untuk Timur Tengah dan Afrika Utara, mengatakan, “Tidak jelas apakah pihak oposisi yang moderat memang masih ada di Suriah. Seharusnya kalangan moderat itu didukung sebelum mereka mengangkat senjata melawan pemerintah.”
Pada dasarnya, kata Whitson, Amerika ingin membantu pemberontak oposisi melawan militan ISIS tetapi mengabaikan perang saudara yang awalnya membuat mereka memberontak.
Menteri Luar Negeri Suriah Walid Muallem mengatakan koalisi pimpinan Amerika sama sekali belum berhasil menghambat kemajuan ISIS di Suriah.
Katanya, mereka membutuhkan aliansi regional baru untuk menumpas teroris di Suriah.
Sejumlah analis mengatakan ofensif regional mungkin akan lebih sukses daripada ofensif oleh pihak Barat karena negara-negara tetangga punya kepentingan yang lebih besar selain melawan ISIS, tapi juga dalam perang saudara itu sendiri.
Para analis lain mengatakan keterlibatan negara-negara kawasan telah memperparah perang saudara di Suriah sehingga ISIS bisa berkembang, sementara ada pihak-pihak yang secara tidak langsung ikut menyulut konflik di wilayah Suriah. Tidak ada satu cara terbaik untuk melawan ISIS di Suriah, kata mereka, dan tidak akan ada pemenang dari perang saudara disana.