Berbagai fraksi Libya saling tuduh yang lain berusaha menunda pemilihan presiden dan anggota parlemen, setelah terjadi serangan bunuh diri terhadap kantor pusat komisi pemilihan umum negara itu. ISIS mengaku bertanggung jawab atas pengeboman itu, tetapi juru bicara militer menepiskan klaim itu.
Serangan bom bunuh diri, Rabu malam (2/5) terhadap kantor pusat komisi pemilu Libya menimbulkan korban jiwa dan kehancuran. Televisi Libya menayangkan sisa bangunan yang hangus dan melaporkan belasan orang tewas.
Media Arab mengatakan kelompok ISIS mengaku bertanggung jawab.
Kolonel Ahmed al Masmari, juru bicara Tentara Nasional Libya di Libya bagian timur, meragukan klaim itu.
"Yang mendalangi serangan itu adalah gerombolan dari Ikhwanul Muslim dan al-Qaida. ISIS mengaku bertanggung jawab, tetapi mereka selalu mengklaim bertanggung jawab atas serangan apapun. Di mata Tentara Nasional Libya, Ikhwanul Muslim, ISIS, dan al-Qaida tidak ada bedanya," tuturnya.
Masmari mengatakan Ikhwanul Muslim berusaha menunda pemilihan presiden dan anggota parlemen Libya dengan menautkannya dengan pemungutan suara terpisah mengenai revisi undang-undang dasar.
Ketua Liga Arab Ahmed Aboul Gheit mengatakan sebelumnya pekan ini negara-negara tertentu telah meningkatkan pengucuran dana untuk kelompok-kelompok milisi lokal.
Utusan PBB untuk Libya Ghassan Salame mengatakan garis singgung internal dan eksternal krisis Libya perlu ditangani.
"PBB berusaha menangani konflik internal Libya, tetapi harus dilakukan upaya dalam front diplomatik dan internasional untuk mengurangi campur tangan negatif dan meningkatkan intervensi positif," kata Salame.
Analis Christopher Davidson, yang mengajar di Universitas Durham, Inggris, mengatakan kepada VOA menurutnya panglima militer Libya Jenderal Haftar maupun Ikhwanul Muslim tidak menginginkan berlangsungnya pemilu yang berpotensi mempersatukan Libya. Kedua pihak, tambahnya, memerlukan waktu untuk memperluas wilayah dan memperkuat pengaruh di meja perundingan nasional pada masa depan. [ds]