Dua tahun lalu Myanmar memicu kutukan internasional setelah lebih dari 750 ribu warga minoritas Muslim-Rohingya melarikan diri ke negara tetangganya, Bangladesh. Pekan ini pemerintah Myanmar dan Bangladesh mengumumkan dimulainya rencana repatriasi sukarela sebagian pengungsi, meskipun tidak satu orang pun bersedia kembali ke tanah air mereka secara sukarela. Reporter VOA Steve Sandford berbicara dengan sebagian pengungsi dan pekerja kemanusiaan tentang prospek kembali ke tanah air di tengah keprihatinan keamanan dan HAM.
Ketegangan memuncak di kamp-kamp Rohingya ketika rencana untuk memulai repatriasi pengungsi yang ditetapkan sebelumnya dimulai.
Kelompok-kelompok bantuan menyerukan agar para pengungsi dijamin kewarganegaraan penuh dan hak-haknya diakui, tetapi para pengecam mengatakan sejak krisis itu terjadi hanya ada sedikit perubahan.
John Quinley di Fortify Rights mengatakan, “Warga Rohingya yang kembali akan dipenjara di pusat-pusat transit selama beberapa hari dan dipaksa mengambil kartu NVC – National Verification Cards atau Kartu Verifikasi Nasional. Kartu ini tidak memberi warga Rohingya hak untuk mengidentifikasi diri sebagai warga Rohingya dan didasarkan pada UU Kewarganegaraan Tahun 1982, yang diyakini sebagai hukum yang diskriminatif.”
Komisi Pengungsi dan Repatriasi Pengungsi melaporkan bahwa sejauh ini 295 keluarga telah disurvei dan tidak satu pun yang mau kembali ke Myanmar.
Bagi sebagian besar orang, hasil ini tidak mengejutkan. Seorang warga Rohingya asal Maungdaw, Abu Haider, bahkan masih belum tahu mengapa namanya ada dalam daftar awal 3.450 warga yang menurut survei bersedia kembali ke kampung halamannya.
“Di Myanmar, saudara dan keluarga saya telah dipenjara. Pemerintah Myanmar seharusnya membebaskan mereka terlebih dahulu sebelum kami dikembalikan ke sana. Mereka harus menerima kami sebagai warga Muslim-Rohingya dan mengembalikan martabat kami. Itu saja yang kami minta dari pemerintah. Jika mereka memberikan hal itu, kami akan kembali sendiri. Mereka tidak perlu menjemput kami,” ujar Haider.
Pandangan serupa disampaikan banyak pengungsi lainnya, termasuk Syedul Mustafa.
“Saudara-saudara saya tinggal di kamp pengungsi di Myanmar, di kamp IDP. Mereka tidak lagi punya hak apapun. Jadi bagaimana kami dapat direpatriasi dari Bangladesh? Jika mereka berkenan merepatriasi kami, pertama-tama mereka harus membersihkan kamp IDP,” tuturnya.
Misi pencari fakta PBB telah menyimpulkan bahwa militer Myanmar berniat melakukan genosida terhadap warga minoritas Muslim-Myanmar ketika mengusir ratusan ribu warga dari negara itu, dan gagasan bahwa para pengungsi kini antri untuk kembali ke kampung halaman mereka tidak menjadi pertimbangan. (em/jm)